Telegrafi – Memasuki tahun politik, bangsa kita masih dibayangi kegaduhan. Mungkin sama seperti tahun yang lalu dan juga yang akan datang, bahwa ujian kebangsaan akan selalu ada dan senantiasa menghampiri. Kegaduhan demi kegaduhan semoga menguatkan mentalitas kebangsaan yang senantiasa berproses.
Proses kebangsaan Indonesia merupakan sebuah anugerah dari wujud kebersamaan yang lahir dari pengalaman sejarah bersama. Dalam sebuah pidatonya, Soekarno mengingatkan sesuatu yang merupakan kunci untuk mengerti mengapa Indonesia masih berdiri kokoh, adalah kebangsaan. Kebangsaan Indonesia bukan kebangsaan alami, seperti kebangsaan Korea atau Jerman, yang berdasarkan kesatuan etnik dan bahasa.
Kebangsaan Indonesia, sebaliknya, merupakan kebangsaan etis. Artinya, perasaan kebersamaan berdasarkan cita-cita etis luhur yang dimiliki bersama. Pengalaman bersama akan ketertindasan dan keterhinaan karena keadaan terjajah melahirkan solidaritas bangsa melampaui perbedaan suku, etnik, dan agama. Kesadaran kebersamaan itu semakin menguat dalam perjuangan bersama untuk mencapai kemerdekaan dan keadilan bagi seluruh rakyat, yang semuanya tercermin dalam Dasar Negara, Pancasila.
Mencermati problem kebangsaan yang belakangan ini bermunculan, mungkin menjadi sebuah alasan yang kuat untuk kembali menggali nilai-nilai kebangsaan kita, yang bersumber pada Pancasila. Yang perlu diperhatikan dan ditekankan adalah bagaimana rakyat atau warga negara yang di dalamnya ada individu, kelompok, golongan atau yang lain dapat berinteraksi dengan baik dalam wadah kebhinekaan.
Indikasi lemahnya kebangsaan bisa dilihat dimana di tahun-tahun yang lalu, nilai keutamaan yang dikandung Pancasila tidak lagi menjadi acuan sebagian pemangku kebijakan/penyelenggara negara. Pancasila sekadar tercantum dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Namun, sebagian penyelenggara negara malah terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme, apalagi saat-saat suhu politik yang kian panas saat ini.
Hal ini terbukti dengan semakin panjangnya daftar koruptor dan kasus korupsi di lingkaran kekuasaan. Pancasila diabaikan, akhirnya negara tidak mempunyai acuan filosofis kebangsaan dan kenegaraan. NKRI dikepung oleh perilaku menyimpang sebagian penyelenggara negara, ideologi asing dan saling fitnah anak bangsa.
Akan dibawa ke mana bangsa ini berlayar di tengah tantangan kebangsaan ini? Tanya yang acap terucap. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dengan lebih ëmembumií sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.
Alangkah baiknya jika kita kembali melakukan permenungan mendalam akan nasib eksistensi bangsa kita ke depan. Dengan mengetahui perjalanan bangsa ini, sudah sepatutnya jika kita membuka lembar-lembar historisitas yang mampu mentrigger semangat kebangsaan.
Dan dari kurun waktu tahun 2017 lalu rupanya negara telah merespons lemahnya sendi-sendi kebangsaan kita. Dalam waktu dekat, rencana pembentukan Unit Kerja Presiden Penguatan Ideologi Pancasila (UKP PIP) diharapkan mampu merekatkan kembali keutuhan kebangsaan kita dalam wadah NKRI.
Sebagai rujukan bersama, Pancasila hendaknya dimaknai dan dijadikan tempat kembali sekaligus titik berangkat semua komponen dalam membangun dan saat terjadi konflik yang mengancam keutuhan bangsa. Penyegaran wawasan kebangsaan dapat direalisasikan dengan komitmen menjadikan Pancasila sebagai barometer bersama mengkritisi kehidupan berbangsa dan bernegara sepanjang masa. Semangat ini harus tetap menyala di bawah kesadaran bahwa proses menjadi bangsa adalah perjalanan panjang yang tak pernah selesai. Dan disini juga diperlukan sebuah konsistensi.
Reaktualisasi wawasan kebangsaan akan semakin optimal jika diiringi perubahan paradigma dan metodologi implementasinya. Pandangan lama bahwa warga negara sebagai objek pasif tak berdaya harus diubah dengan paradigma yang memosisikan warga negara sebagai subjek kreatif. Ini harus diapresiasi negara dan semua yang terlibat dalam usaha konstruktif penyegaran dan internalisasi wawasan kebangsaan.
Upaya ini diharapkan mampu mempercepat proses kebangsaan Indonesia menjadi negara bangsa yang dicita-citakan Pancasila. Untuk mewujudkan ini, resolusi kebangsaan harus dilandaskan pada komitmen kebangsaan yang juga harus dibarengi dengan wujud konsistensinya tanpa ragu kepada tuntutan-tuntutannya. Semoga kebangsaan tidak lagi dibahas jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap. Apalagi dibajak para petualang politik yang tidak bertanggung jawab. Ini adalah tugas yang tiada akhir bagi kita semua.
Oleh : Hendro Muhaimin MA. Analis Kebangsaan di Pusat Studi Pancasila UGM. | Photo Credit : Iyas Lawrence