Kehadiran pers menjadi hal yang krusial di Indonesia, hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa majunya suatu masyarakat dalam sebuah bangsa tergantung dengan seberapa berkualitas persnya. Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada tanggal 9 Februari yang juga merupakan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) membawa kembali memori kehadiran pers di Indonesia.
Sejarah pers Indonesia dimulai Sejak dibentuknya Indonesische Persbureau (disingkat IP, atau “Kantor Berita Indonesia”) merupakan kantor berita pertama yang didirikan seorang bumiputra Indonesia, yaitu RM Soewardi Soerjaningrat yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. IP tidak didirikan di Hindia Belanda (kini Indonesia), melainkan di Den Haag, Belanda bulan November 1913.
Lalu tidak lama setelah 4 tahu IP ada, berdirilah kantor berita pertama di Indonesia bernama ANETA ( Algemeen Nieuws- en Telegraaf- Agentschap) yang bertempat di Batavia pada tahun 1917. Namun berbagai kalangan mengeluh bahkan mengecam karena pemberitaan ANETA yang tidak obyektif, cenderung untuk menghancurkan lawan-lawannya,dan siaran yang menakutkan bagi inlander (Pribumi) tetapi ANETA dapat tumbuh kuat berkat dukungan modal para pengusaha Belanda dan subsidi Pemerintah Hindia Belanda, sehingga praktis memonopoli penyiaran berita terjadi di negeri ini.
Dengan menerima bantuan pemerintah, ANETA menjadi kantor berita semi pemerintah. ANETA menjadi kantor yang besar dan modern, memiliki gedung kantor bertingkat tiga di Jalan Antara No. 53 (sekarang), tahun 1920 dan membuka stasiun radio sendiri sejak tahun 1924. Berita yang berasal dari luar negeri dapat disiarkan selama 24 jam.
Karena itu beberapa pemuda-pun bertemu dan sepakat bahwa kantor berita milik pemerintah hindia Belanda ini perlu punay tandingan, akhirrnya 4 pemuda Indonesia yakni Adam malik, Soemanang, A.M Sipahoetar, dan Pandu Kartawiguna yakin bahwa dengan memiliki kantor sendiri mereka dapat turut berjuang demi cita-cita kemerdekaan, lalu pada tanggal 13 Desember 1937 berdirilah kantor berita ANTARA.
Artinya kehadiran pers ini bertujuan untuk memasyarakatkan atau mengenalkan sikap ke Indonesiaan (Nasionalisme) yang berawal dari perjuangan tokoh pers Indonesia. Perkembangan awal pers Indonesia sama dengan perkembangan pergerakan bangsa Indonesia. Keberadan pers di Indonesia awalnya digunakan untuk mensyiarkan rasa ingin sejajar dengan bangsa barat dan mensosialisasikan rasa kebangsaan di Indonesia.
Beranjak dari awal munculnya pers di Indonesia perkembangan pers pada sebelum reformasi menjadi hal yang menarik untuk ditilik lebih lanjut. Adanya aturan yang ketat terhadap pergerakan pers merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dari masa orde baru.
Pada orde baru semua industri media masa harus melapor kepada departemen penerangan. Untuk mendapatkan surat izin industri media masa harus melalui seleksi yang ketat. Berita yang ditulispun Semuanya harus sesuai dengan keinginan orde baru, seakan-akan malah Kembali lagi pada era kolonialisme. Sebelum reformasi tidak ada aturan yang resmi yang dapat memberika perlindungan dan juga memberikan kebebasan pers di Indonesia.
Hal ini jelas bertolakbelakang dengan masa reformasi. Disahkan nya UU NO. 40 Tahun 1999 akhirnya memberikan aturan resmi tentang kebebasan pers di Indonesia dan kabar gembira bagi pelaku pers atau jurnalis. Hal ini sekaligus menjadi awal lepasnya Indonesia dari kungkungan pemerintahan orde baru yang identik dengan keoteriterannya.
Tidak ada lagi aturan yang ketat yang dilatarbelakangi oleh UU yang mengatur kebebasan pers mebuat lahirnya berbagai jenis media masa di Indonesia. Tidak hanya media masa cetak dan elektronik namun juga merambah ke media online. Meskipun demikian perkembangan yang cukup pesat ini juga memiliki dampak negatif yang tidak bisa terelakan, seiring menjamurnya media masa mengakibatkan sebuah probelmatika yang makin kompleks bagi Pers Indonesia.
Kebebasan tersebut juga malah dijadikan momen “aji mumpung” dan instrument yang massif bagi oknum penguasa yang separatis, mencoba untuk memcah belah bangsa, menyebarkan hoax, dan muatan negatif. Mendekati momentum pemilu 2024 tentunya kita mesti lebih bijak dalam menyerap segala informasi yang ada, tentunya ditengah kondisi dinamika politik yang makin memanas bukan hal yang ringan dan mudah bagi pelaku pers untuk melaksanakan kerja-kerjanya apalagi memberitakan perihal aspek informasi, dan isu-isu politik.
Seyognya kita bijaksana dalam memahami kebebasan pers, jangan sampai menutup mata pers dalam melihat fakta, jangan kedapkan telinga pers dalam mendengar realita, jangan bungkam suara pers dalam menyampaikan berita, jangan renggut kebebasan pers dalam mencari kebenaran, karena kebebas pers akan mengawal berjalannya demokrasi yang bermartabat.
Oleh: M Fadil Tegar Syafian, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya