Telegraf – Setiap manusia mendambakan kedamaian, ketenteraman dan keharmonisan dalam rumah tangga. Namun dalam perjalanan mengarungi bahtera rumah tangga tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan, diluar prediksi manusia, tentu dihadapkan dengan badai yang menerpa. Begitulah yang namanya kehidupan, tidak jarang kita temui berita-berita kekerasan dalam rumah tangga yang disiarkan baik dalam stasiun televisi maupun di internet. Kekerasan seringkali diasumsikan berupa kekerasan terhadap fisik, namun tidak hanya fisik melainkan juga kekerasan seksual, kekerasan psokologis dan kekerasan ekonomi.
Misalnya, fenomena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dialami oleh Putri Balqis, dalam pemberitaan detik.com “Saya harap ini berjalan sesuai dengan keadilan. Saya ingin keadilan. Karena memang yang diberitakan di media, separah apa yang saya lakukan ke suami saya, saya hanya membela diri. Karena saya hampir satu jam lebih itu sudah dipukulin sama suami saya,” kata Putri Balqis di Hotman Paris 911, di Kopi Jhony, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Kamis (1/6/2023).
Selain itu, kompas.com juga mewartakan kasus seorang istri menusuk suaminya sendiri tepat di bagian leher dan punggung dengan sebilah pisau sebagai buntut percekcokan. SP (32) dan LH (32) merupakan pasangan suami-istri dengan status nikah siri. Keduanya warga Gerendeng, Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang. Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Pol Zain Dwi Nugroho mengatakan, peristiwa itu terjadi pada Senin, (29/5/2023) pukul 21.00 WIB.
Padahal jelas, bahwa UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 1 berbunyi:
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Serta Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga”
Jika menggunakan pendekatan Psikologi Sosial dengan teori atribusi, maka proses KDRT dapat dicegah, melalui upaya untuk memahami mengapa seseorang berbuat sesuatu kepada individu yang lain. Kemudian, terdapat teori Inferensi Korespondensi oleh Jones dan David, menjelaskan tentang setiap orang mencoba memahami orang lain dengan mengobservasi dan menganalisis perilaku.
Dalam teori diatas, seorang pelaku KDRT melakukan inferensi (penyimpulan) dari sebuah tindakan, apakah sesuai dengan karakteristik pasangannya, pelaku KDRT cenderung menganggap perilaku dari pasangan yang tidak biasa, ada perubahan yang signifikan, atau yang tampak tidak konsisten dengan harapan mereka sebagai pasangan yang harmonis dalam berumah tangga.
Jika seseorang secara terus-menerus melakukan perbuatan yang mengancam keharmonisan, maka pelaku KDRT cenderung menganggap bahwa pasangannya sebagai orang jahat, seperti yang dilakukan oleh Putri Balqis pada suaminya sehingga muncul tindakan untuk melakukan kekerasan, meskipun mungkin saja suami Putri Balqis tersebut melakukan tindakan yang tidak konsisten hanya karena situasi tertentu.
Sedangkan, Harold Kelly dengan Teori Kovariasi menjelaskan bahwa individu menggunakan informasi tentang konsensus, kekhasan dan konsistensi dalam menentukan mengapa seseorang bertindak pada peristiwa tertentu. Dalam teori ini kita lihat contoh untuk membantu memahami teori atribusi seorang pelaku KDRT.
Contoh subjeknya adalah LH (32) perilakunya adalah bercekcok. LH (32) bercekcok dengan SP (32).
- Konsensus, jika semua orang bercekcok dengan SP (32), konsensusnya tinggi, tapi jika LH (32) saja yang bercekcok, maka konsensusnya rendah.
- Kekhasan, jika LH (32) hanya bercekcok dengan SP (32), kekhasannya tinggi, tapi jika bercekcok dengan semua orang, maka kekhasannya rendah.
- Konsistensi, jika LH (32) selalu bercekcok dengan SP (32), konsistensinya tinggi. Jika LH (32) jarang bercekcok dengan SP (32), maka konsistensi rendah.
Sekarang, jika semua orang bercekcok dengan SP (32), jika mereka tidak bercekcok dengan yang lainnya, tapi SP (32) selalu menimbulkan percekcokan, maka kita akan membuat atribusi eksternal, yaitu, kita menganggap bahwa LH (32) bercekcok karena SP (32) menimbulkan percekcokan. Sedangkan, jika LH (32) adalah satu-satunya orang yang bercekcok dengan SP (32), jika LH (32) bercekcok dengan semua orang dan jika LH (32) selalu bercekcok dengan SP (32) maka kita akan membuat atribusi internal, yaitu kita menganggap bahwa LH (32) bercekcok karena dia adalah tipe orang yang suka bercekcok.
Bagaimana kita menghadapi dan menyikapi perilaku KDRT yang terjadi dalam rumah tangga? Setiap tindakan KDRT yang muncul dalam suatu rumah tangga, cara menghadapinya adalah dengan beragam cara, tergantung individu mempersepsi dan mengolah informasi yang tersedia.
Pada umumnya. Semua informasi yang tersedia baik positif maupun negatif, akan diproses atau dikelola dalam otak, sehingga menghasilkan suatu respon kognitif berupa penilaian atas informasi tersebut, termasuk hal yang dapat menimbulkan tindakan KDRT. Proses itulah kemudian yang akan menghasilkan informasi untuk memahami dunia sosial atau disebut kognisi sosial. (Agung, 2020) Namun jika gagal dalam menangkap suatu informasi, maka akan menjadi bias. (din/aji)
Oleh: Rohmat Burhanuddin, Mahasiswa Magister Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.