Telegrafi – Slogan kampanye Capres dan Cawapres Prabowo-Gibran adalah ingin pertahankan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada saat ini, dan strateginya bahkan ingin terus dilanjutkan. Padahal, ekonomi kita hanya dikangkangi oleh segelintir orang. Sementara hidup rakyat itu dalam kondisi penuh kemiskinan dan kesengsaraan.
Menurut Oxfam ( 2022), kekayaan 4 keluarga konglomerat di Indonesia itu sama dengan 100 juta rakyat Indonesia. Bahkan menurut FAO ( 2022), ada 16,2 juta rakyat Indonesia menderita kelaparan ekstrim dengan pergi tidur dalam kondisi perut lapar.
Kekayaan di Indonesia itu terkonsentrasi ke segelintir orang konglomerat. Orang kayanya sangat sedikit sementara orang miskinnya sangat banyak membentuk pola struktur piramida yang sangat runcing ke atas. Kondisinya dibandingkan dengan rata rata dunia bahkan sangat jauh tertinggal.
Menurut World Data Book ( 2021), jumlah penduduk dewasa Indonesia tahun 2021 sebanyak 183,7 juta atau 67,38 persen dari penduduk. Rata rata kekayaan mereka hanya sebesar US $ 15.535 atau 222,3 juta rupiah. Jauh tertinggal dari rata rata dunia yang sebesar US $ 87.489 atau 1,257 milyard rupiah (dihitung dengan kurs tengah tahun 2021 sebesar 14.311 per US $ 1).
Dilihat dari angka tengahnya sebesar US $ 3.457 atau 49,4 juta rupiah per orang. Sementara rata rata dunia adalah sebesar US $ 8.360 atau 119,6 juta rupiah per orang.
Tahun 2021, Rata rata kelompok bawah (miskin) dengan kekayaan di bawah US $ 10.000 atau di bawah 143,1 juta rupiah adalah sebanyak 75,1 persen. Rata rata dunia hanya 53,2 persen.
Mereka yang di kelompok menengah atau memiliki kekayaan di atas US $ 10.000 – 100.000 atau di rentang 143,1 juta – 1,43 milyard adalah di angka 22,9 persen. Sementara rata rata dunia sebesar 33,8 persen.
Angka yang cukup fantastis adalah di kelompok kaya atau mereka yang memiliki kekayaan di atas US $ 100.000 – US $ 1 juta atau 1,43 milyard – 14,3 milyard. Di Indonesia angkanya hanya 1,9 persen, sementara rata rata dunia adalah sebesar 11,8 persen. Jauh sekali jika dibandingkan rata rata dunia.
Sementara di kelompok super kaya atau mereka yang kekayaanya di atas 14,3 milyard ke atas hanya 0,1 persen. Sementara rata rata dunia sebesar 1,2 persen. Lagi lagi angkanya tertinggal jauh dari rata rata dunia.
Di kelompok bawah (miskin) rata rata selama sepuluh tahun adalah 82,96 persen. Sementara itu rata rata dunia 66,2 persen. Angkanya tetap di bawah rata rata dunia.
Sementara dari kelompok kaya dan super kayanya Indonesia selama sepuluh tahun terakhir rata rata hanya sebesar 1,3 persen dan rata rata dunia adalah sebesar 9,4 persen. Bahkan di kelompok super kaya jumlah mereka tidak berubah sama sekali di angka hanya 0,1 persen.
Dilihat dari angka angka tersebut maka kelompok miskin itu dapat dikatakan tidak mengalami kenaikan kelas. Demikian juga di kelompok menengah ke kaya dan juga dari kaya ke super kaya. Artinya jika tidak ada perubahan sistem dan strategi pembangunan dan apalagi dilanjutkan maka kesengsaraan rakyat banyak akan semakin parah.
Kondisi ketimpangan yang bersifat asimetris dan jangka panjang tersebut menandakan sebab kemiskinan yang ada itu sifatnya struktural. Struktur yang timpang ini jelas menandakan ada yang salah dalam sistem perekonomian kita.
Harus ada perombakan sistem secara kongkrit dan tidak cukup hanya dilakukan dengan kebijakan programatik biasa seperti yang dilakukan selama ini. Sebut saja misalnya bantuan sosial ( bansos), subsidi, pengupayaan akses kredit, dan lain sebagainya. Apalagi hanya diselesaikan dengan makan siang gratis yang ditawarkan Prabowo-Gibran. Hal ini justru menjadi pelanggeng dari kemiskinan itu sendiri.
Kemiskinan struktural itu terjadi karena rakyat miskin tidak memiliki peluang untuk mengkreasi kekayaan. Sehingga mereka pada akhirnya hanya mewariskan kemiskinan baru.
Jakarta, 30 Desember 2024
Suroto, Ketua AKSES Indonesia