TELEGRAFI
Tendang Sesajen: Tantangan Islam dan Kebhinekaan

Jagad Nusantara sedang dihebohkan melalui sosial media dengan video amatir menampilkan fenomena pelaku laki – laki menendang sesajen yang berlokasi di salah satu kawasan terdampak erupsi Gunung Semeru, berdasarkan beberapa pemberitaan di media massa bahwa kejadian tersebut bertempat di Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang.
Meskipun dalam keterangan pelaku di video tersebut bahwa Tuhan marah dan mengakibatkan bencana alam erupsi semeru karena ada sesajen. Tentu menjadi tanda tanya dan menimbulkan multi persepsi, baik dikalangan para agamawan, budayawan, hingga masyarakat umum.
Ya, pada prinsipnya bahwa manusia mempunyai perbedaan secara prinsip dalam alam fikir dan budinya. Jika ditinjau dari unsur budaya Indonesia, hal tersebut secara prinsip berbangsa Indonesia justru sangat bertentangan dengan prinsip berbudaya. Pasalnya bahwa Sesajen merupakan produk dari kebudayaan Jawa, dan sewajarnya kita harus menghargai leluhur yang sudah melekat dengan kebudayaan di Indonesia. Lantas apa untungnya orang tersebut menendang sesajen atas nama Tuhan Yang Maha Esa ?
Justru hal tersebut menimbulkan kontroversi dan polemik oleh masyarakat Indonesia yang telah menjahit keberagaman ditengah perdamaian abadi dan membangun toleransi beragama dan berbudaya, baik suku maupun ras.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk 2010 menyebutkan terdapat 1.331 kelompok suku di Indonesia. Kategori itu merupakan kode untuk nama suku, nama lain/alias suatu suku, nama subsuku, bahkan nama sub dari subsuku.
Selain itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Badan Bahasa memverifikasi sejumlah kurang lebih 652 bahasa daerah yang berbeda.
Sehingga, kita tidak bisa menjustifikasi atau menghakimi kebudayaan lain bahwa itu salah atau musyrik. Oleh karena itulah, kita harus mempelajari secara komprehensif dan holistik ditengah keberagaman tersebut. Lantas juga apa budaya lain yang ditawarkan oleh pelaku ketika menendang sesajen tersebut ?
Secara umum bahwa masyarakat Muslim pun tidak mempersoalkan hingga tanpa memandang kelompok sektarian, mempunyai satu keyakinan bahwa Allah SWT merupakan Tuhan-Nya.
Jika kita mengacu salah satu dari 20 sifat wajibnya Allah, Qudrat yang mempunyai arti “Yang Maha Kuasa terhadap segala sesuatu”. Bahkan Gus Dur sebagai seorang Santri, cucu pendiri Nahdlatul Ulama pernah mengatakan “Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apapun yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya”, selain itu pula dalam peribahasanya “Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah maha segalanya. Belalah mereka yang diperlakukan tidak adil”.
Pesan Pluralisme Berbudaya dalam Bingkai Kebhinnekaan
Ingat pesan Bung Karno bahwa “kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini,”
Sebagai bangsa yang besar mengedepankan prinsip pluralisme dalam berbudaya dan sudah menjadi ciri khas bangsa Indonesia, menjadi tantangan yang besar. Pasalnya faham transnasional, intoleransi, dan radikalisme Agama bukan hanya sebagai isu politik belaka, melainkan ancaman disintegrasi bangsa.
Padahal, masyarakat Indonesia tidak asing mendengar semboyan adalah “Bhinneka Tunggal Ika” yang mempunyai makna berbeda – beda, tetapi tetap satu jua. Inilah sebenarnya prinsip daripada penerapan pluralisme ditengah keberagaman bangsa Indonesia yang menghargai satu dengan yang lainnya. Hal tersebut sudah menjadi pemahaman secara fundamental dan prinsip berbangsa dan bernegara.
Semboyan tersebut menjadi langkah antisipatif untuk diterapkan secara praksis maupun aplikatif. Agar hidup di bangsa ini menjadi ayem tentrem kertaraharja.
Gus Dur pun menyarankan kepada kita untuk memahami Islam Berkebudayaan, “Islam itu datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ menjadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita. Kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya”
Mengutip dari Al-Quran Surah Al-Hujurat ayat:13, artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”
Meminjam dari paradigma Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998 – 2005, Buya Ahmad Syafii Maarif, menuturkan bahwa Al-Qur’an mengakui kebhinekaan tanpa adanya pemaksaan. Pasalnya bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia menuliskan bahwa perjuangan bangsa oleh beragam satu suku, ras, maupun agama.
Hal ini menjadi rujukan yang amat serius bahwa sebelum adanya Bhinneka Tunggal Ika yang mengutip dari kitabnya Mpu Tantular, Al-Qur’an sudah mengajarkan tentang prinsip toleransi dan menghargai perbedaan.
Sehingga, dalam konteks Indonesia yang merupakan Negara mayoritas Muslim yang hidup ditengah harmonisasi pluralisme budaya, tidak ada muatan paksaan adalah suatu prinsip dasar pada hakikatnya dalam menjalankan kehidupan yang mengedepankan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebelumnya terbit di Proklamator ID, 01 Februari 2022.
