Telegrafi – Dalam kontestasi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sebagai anggota aktif yang berproses di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) Komisaritas Universitas Islam Darul Ulum (Unisda) Lamongan, mengambil sikap independen dan tidak terjebak dalam politik praksis yang menggerus nalar kritis mahasiswa yang seharusnya bergerak dibidang intelektual. Konon dikabarkan ada oknum kader aktif yang mengatasnamakan GmnI, terlibat dalam mendukung salah satu paslon Capres nomor urut 2. Tentunya harus menjadi catatan refleksi kita semua untuk kembali ke marwah organisasi sebagai kalangan kelompok intelektual sebagai agent of change.
Gelombang protes kalangan mahasiswa mengalir, pusat ke daerah. Misalnya yakni menyikapi kontroversinya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor gugatan perkara 90/PUU-XXI/2023 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 169 huruf q, mengenai batas umur capres dan cawapres, mengabulkan permohonan pemohon sebagian, oleh mahasiswa asal kampus swasta di Surakarta. Sehingga putusan tersebut menyebutkan serta mengesahkan petitum yang berbunyi capres/cawapres dapat mendaftar sekurang-kurangnya berumur 40 tahun dan/atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah (baik gubernur, walikota atau bupati).
Sejumlah pemerhati hukum, tokoh politik hingga kalangan pemuda dan mahasiswa geram hingga sedih melihat kejadian fakta tersebut. Karena urgensi gugatannya menjelang pendaftaran Pilpres 2024 semakin dekat. Tentunya menjadi pertanyaan tersendiri bagi publik. Yang mana putusan tersebut terdapat mata rantai yang menguntungkan Gibran Rakabuming Raka (menjabat sebagai Walikota Surakarta, berusia 36 tahun) dapat mencalonkan sebagai Cawapres, berpasangan dengan Capres Prabowo Subianto. Diketahui pimpinan sidannya yakni paman ipar Gibran, bernama Anwar Usman, yang telah dipecat dari jabatannya sebagai Ketua Hakim MK karena terbukti melanggar kode etik kehakiman. Sehingga, seolah-olah MK di jadikan sebagai obyek plesetan narasi menjadi ‘Mahkamah Keluarga’
Padahal, UUD 1945, bab 1 ayat (3) “negara Indonesia adalah negara hukum” Hukum menjadi Panglima Tertinggi, bukan politik yang menjadi panglima tertinggi dan setiap permasalahan politik bisa di selesaikan dengan hukum, bukan malah sebaliknya. Bahayanya Hukum telah menjadi alat representasi politik. Yang dikhawatirkan Indonesia akan bergeser yang mulanya negara rechstat/hukum menjadi negara machtstaat/kekuasaan.
Padahal adagium hukum sudah jelas “Politiae legius non leges politii adoptandae” (politik harus tunduk pada hukum, bukan sebaliknya). Marwah negara hukum di pertaruhankan kelembagaannya lewat mahkamah konstitusi, ketika yudikatif sudah terpengaruh nuansa kepentingan eksekutif maupun legislatif maka produk hukum yang di hasilkan pun jauh dari rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. serta hilangnya arwah check and balance sistem ketatanegaraan di Indonesia karna racun lembaga lain sudah mendominasi masuk ke tubuh mahkamah konstitusi.
Sebelumya Ada lima Perkara terbagi 2 gelombang, gelombang pertama masuk Nomor (29-51-55/PUU-XXI/2023) isu konstitusionalnya pun sama judivial review UU Pemilu terkait batas usia capres/cawapres. Pada saat RPH gelombang pertama tanpa di hadiri ketua majelis Hakim Anwar usman. hakim mahkamah konstitusi sepakat menolak dan memposisikan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) untuk diserahkan kembali ke pembentukan Undang-undang. Pada perkara gelombang kedua nomor 90/PUU-XXI/2023 hakim konstitusi kembali menggelar RPH Dan anehnya berubah Haluan yang tadinya menolak memposisikan sebagai kebijakan hukum terbuka malah menjadi ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Ada keganjilan dan kegamangan di tubuh mahkamah konstitusi ketika mengambil keputusan, pertama keputusan yang tidak di hadiri dan di hadiri ketua majelis hakim konstitusi Anwar Usman berbeda hasilnya. Nuansa politiknya keliatan sekali dan Hakim Anwar Usman seharusnya mengundurkan diri/memilih tidak menghadiri persidangan tersebut karna melanggar UU kekuasaan kehakiman.
Bab asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pasal 17 ayat 3 “Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera” Dan terbukti Anwar Usman masih ada hubungan darah atau keluarga sama Gibran Rakabuming Raka putra sulung Jokowi yang di gadang” akan maju menjadi cawapres, Bukan cuma itu kita bandingkan judivial review terkait uu perkawinan mengenai batas usia 19 tahun bagi perempuan.
Mahkamah konstitusi memberikan waktu 3 tahun pembentuk UU melakukan revisi terbatas, Mahkamah konstitusi menilai lebih rasional menimbang dampak negatif/buruk terhadap perkawinan anak dan tidak terkesan terburu-buru seperti putusan batas usia capres/cawapres yang seAkan mengandung unsur kebutuhan, kepentingan pada saat momen pemilu. Seharusnya mahkamah konstitusi bersikap sebagai negativ legislator seperti pada saat judicial review UU Perkawinan. Bukan malah menjadi positif legislator Terkesan kayak ada unsur dukungan sehingga Terbukti menambahkan norma baru dalam pasal yang di uji.
Akhirnya kita semua harus mengakui potret buram putusan MK. Pada saat sidang MKMK memutuskan Dengan di tetapkannya Anwar usman melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Putusan ini terkait dengan laporan yang dilaporkan PBHi, Tim advokasi peduli hukum Indonesia, advokat pengawal konstitusi. secara materiil seharusnya putusan mahkamah konstitusi cacat demi hukum. Tapi apalah daya secara formil putusan tersebut sudah bergulir final dan mengikat.
Akibatnya indeks kepercayaan masyarakat terhadap MK pun menurun ataupun terhadap berbagai persoalan penegak hukum di Indonesia, Yang semakin hari semakin absurd Hukum di Indonesia. Hakim sangat berpengaruh dalam pembangunan paradigma Hukum di Indonesia, Aliran realisme hukum mengatakan “Hukum tidak lain dari apa yang di lakukan oleh Hakim” pendekatan permasalahan tentang faktor-faktor irasional dan tidak logis didalam lahirnya putusan pengadilan.
Bahkan hukum adalah kelakuan aktual para hakim. sehingga aliran ini memperlihatkan 3 faktor yang mempengaruhi putusan hakim pertama kaidah hukum yang di konkretkan hakim dengan metode interpretasi dan konstruksi, kedua moral hidup pribadi hakim, ketiga yang terpenting adalah Faktor sosial. nuansa” kepentingan ini yang paling berpengaruh.
Makanya dalam UU Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka tidak boleh adanya intervensi dan ancaman dari pihak luar, independensi seorang Hakim harus dijaga. Teori korespondensi identik dengan Aliran realisme mengatakan suatu pernyataan benar apabila sesuai dengan kenyataannya Apa yang udah di putus oleh hakim itulah yang akan terjadi, itulah kenyataannya, dan itulah Takdirnya Karna ibarat kata putusan Hakim adalah putusan Tuhan. Apalagi putusannya syarat dengan kepentingan bagaimana Bangsa ini menyikapinya
Jelas, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum sesuai dengan preambule atau pembukaan uud negara 1945. dengan jelasnya asas dan nilai” dasar negara Pancasila Termaktub di dalamnya. Kalau dalam istilah aliran hukum positivisme melahirkan ajaran hukum murni (pure theory of law) namanya Grundnorm.
Penganut Aliran dan pencetus Teori tersebut adalah Tokoh yang bernama Hanskelsen, yang mana Pancasila itu ibarat Grundnorm atau induk yang melahirkan Uud 1945. Pancasila sebagai Bahan bakar Penggerak UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 nilai-nilai Pancasila sebagai staats fundamental norm, norma tertinggi, norma dasar yang menjadi sumber hukum positif Indonesia. Konsekuensinya seluruh peraturan perundang undangan dan penjabarannya harus berdasarkan nilai-nilai yang terkandung Pancasila.
Cermin yang namanya demokrasi di Indonesia sendiri bukan hanya sebatas fiksi setelah terjadi Amandemen uud 1945 pada bab 1 tentang Bentuk dan kedaulatan. pasal 1, ayat (2) berbunyi “kedaulatan berada ditangan Rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar” sekaligus kebebasan demokrasi semakin terlihat Pada bab VII, pasal 22 e yang berbunyi “pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali”
Hal ini adalah bukti kongkret kebijakan setiap 5 tahun sekali Indonesia menyelenggarakan pesta Demokrasi, warga negara Indonesia harus memaksimalkan peluang Tersebut untuk memilih, memilah, memfilter calon pemimpin. baik di lembaga eksekutif maupun legislatif yang sesuai dengan kapasitas, kualitas, track record, dedikasi serta berani berkorban apapun demi kepentingan bangsa kesetiaannya terhadap Pancasila dan faham akan arah pembangunan bangsa kedepan, untuk mewarisi dan meneruskan perjuangan founding father Indonesia.
Setelah terjadi Amandemen UUD 1945 tidak ada yang namanya lembaga tertinggi negara yang ada hanyalah lembaga tinggi negara. Sejak saat amandemen UUD 1945 negara Indonesia bisa di katakan menerapkan ajaran montesquieu tentang pemikiran negara dan hukum yang menerapkan sistem pembagian kekuasaan atau trias politica, check and balance. Tidak ada lembaga negara yang paling mendominasi. ketiga lembaga negara saling mengawasi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Oleh: Ahmad Syarifuddin, Wakil Ketua BEM FH Unisda Lamongan. Kader GMNI Unisda Lamiongan.