Kompleksitas problematika di kawasan konflik Timur Tengah pada dasarnya masih menemui jalan buntu. Pasalnya adalah dikarenakan setiap bangsa dan negara masing masing mempunyai kepetingannya. Dalam konteks kajian Hubungan Internasional, manakala menjalin hubungan kerjasama dalam skala Internasional tidak terlepas dengan actor state and non actor state.
Dikawasan Timur Tengah, terdapat 3 Agama besar yang dikenal yakni Islam, Nasrani dan Yahudi. Namun tidak hanya 3 Agama besar yang dapat hidup dikawasan tersebut, melainkan seperti Iman Baháʼí, Druze, Alawites, Manichaeisme, Sabianisme, Bábisme, Yazidisme, Mandaeisme, Gnostisisme, Yarsanisme, Samaritanisme, Shabakisme, Ishikisme, Ali-Illahisme, Alevisme, Yazdânisme, dan Zoroastrianisme.
Timur Tengah menjadi Kawasan dengan populasi Islam terbesar jika dibandingkan dengan Agama lainnya. Namun dengan kebesaran Islam yang meluas, masih belum mencerminkan sebagai kawasan yang menunjukkan nilai persaudaraan dan perdamaian. Hal tersebut terjadi bukan konflik antar Agama yang dibangun, melainkan yang dibangun adalah konflik sektarian Islam yakni Syiah dan Sunni, beserta kepetingan dari konspirasi global yang semakin menguat.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Wikipedia Internasional, bahwa populasi Masyarakat yang menganut agama Islam yakni sekitar 287,9 Juta Jiwa atau 85.53% dari total jumlah populasi keseluruhan penduduk Timur Tengah yakni 336, 7 Juta Jiwa. Dan juga penduduk Muslim berpenghuni di Timur Tengah hampir 20% dari penduduk Muslim Dunia. Selain itu, Islam merupakan agama yang monoteistik, dan mengajarkan tentang kepercayaan pada satu Tuhan yakni Allah SWT dan berlandaskan pada Ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Selain itu, banyak kalangan muslim juga mempercayai bahwa Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir diantara Nabi pertama kali diturunkan dimuka bumi sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan pertama kalinya. Hingga saat ini mayoritas masyarakat muslim di Timur Tengan menganut faham Sunni dan Syiah. Yang disayangkan oleh umat Islam hingga saat ini, pada khususnya di Kawasan TImur Tengah adalah konflik sektarian Islam yakni Sunni dan Syiah.
Pada dasarnya bahwa Sunni dan Syiah merupakan kelompok yang mempunyai kesamaan landasan dalam ber-Islam yakni Ajaran Al-Qur’an dan meyakini bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Mereka berselisih tentang siapa yang akan memimpin komunitas Muslim setelah kematian Muhammad. Pertempuran Siffin adalah perpecahan yang signifikan antara kedua sekte. Selama bertahun-tahun, perbedaan lain telah muncul antara praktik, kepercayaan, dan budaya. Banyak konflik yang terjadi di antara kedua komunitas tersebut hingga detik ini. Salah satunya wacana menguat dari representasi konflik antara Sunni dan Syiah yakni Arab Saudi (Raja Salman) dan Iran (Imam Khomaini).
Keislaman Bung Karno: Semangat Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Barat
Secara awam bahwa seringkali mendikotomi antara Islamis dan Nasionalis. Salah satunya adalah sosok Bung Karno apakah seorang Islamis atau Nasionalis ? mungkin bagi kalangan masyarakat mendikotomi dua faham tersebut sah – sah saja, namun alangkah baiknya adalah mengkaji secara mendalam dan komprehensif, agar tidak mengasumsikan atau menduga secara liar.
Berkaca pada sejarah, bahwa Bung Karno dilahirkan dan dibesarkan bukan hanya dari kalangan nasionalis, melainkan dari kalangan religius, salah satunya adalah Islam. Hal ini ditengarai ketika Bung Karno mempunyai bapak bernama Soekemi Sosrodiharjo dan Ustadznya atau yang dikenal sebagai Guru Islamnya yakni Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Lantas Bung Karno tidak hanya sekedar belajar tentang Islam, melainkan juga belajar tentang Dunia pergerakan, baik menjadi seorang orator ulung maupun sebagai penulis sebagai media propaganda.
Dalam bukunya Dibawah Bendera Revolusi Djilid I yang ditulis oleh Bung Karno mengkaji tentang Islamisme dan Ke – Islamannya, dalam pandangannya di abad ke-19-an, terdapat dua tokoh pembaharu Islam yakni yakni Seyid Jamaluddi El-Afghani yang mempunyai peran besar dalam membangunkan dan menjunjung rakyat Islam diseluruh benua Asia untuk mengentaskan kegelapan dan kemunduruan peradaban.
Bung Karno pun mempersepsikan tokoh pembaharu Islam yang dapat membangunkan kembali kenyataan Islam tentang politik. Seperti halnya yang dilakukan oleh Seyid Jamaluddin al – Afghani yang membangunkan rasa perlawanan dihati rakyat Muslim terhadap Kolonialisme dan Imperialisme Barat, serta mengkhotbahkan bahwa rakyat Islam yang kokoh adalah langkah awal untuk melawan Imperialisme Barat.
Imperialisme Barat yang dimaksud yakni upaya yang dilakukan oleh negara atau bangsa untuk menguasai wilayah teritorial lainnya demi state interest atau kepentingan negaranya. Istilah ini merujuk dan muncul pada akhir awal ke-19 oleh Perdana Menteri Inggris. istilah tersebut mendeskripsikan perluasan kerajaan Inggris diseluruh dunia, membentuk sebuah “empire”, golongan yang pendukung pemerintahan Ingrris dikenal sebagai kaum Imperialis.
Sedangkan, Kolonialisme berangkat dari kata “colonus” yang mempunyai arti menguasai. Kolonialisme juga memiliki arti sebagai upaya negara dalam mengembangkan kekuasaan diluar wilayah kekuasaan negara tersebut. Kolonialisme memiliki tujuan mencapai dominasi kekuatan dalam bidang ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia, dan politik. Wilayah koloni biasanya merupakan wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan bahan mentah yang dibutuhkan oleh negara yang melakukan kolonialisme. Dalam kolonialisme, ada kepercayaan bahwa bangsa yang melakukan kolonialisasi jauh lebih superior dari bangsa yang dikoloni.
Sehingga, Seyid Jamaluddi El-Afghani, tokoh yang berani dan gagah, tiada hentinya melakukan dakwah Islam dan menanam perlawanan terhadap masyarakat Barat, menanam keyakinan bahwa perlawanan kaum Islam harus mengambil teknik kemajuan Barat dan mempelajari rahasia-rahasia kekuasaan Barat. Sehingga hasil dari propaganda Ke-Islam-an sebagai alat perjuangan untuk melawan penjajahan Imperialisme Barat semakin meluas, hingga Muslim tentara Pan-Islamisme bangun dan bergerak dari Turki dan Mesir, hingga sampai ke Marocco dan Kongo, Persia, Afghanistan, ke India hingga ke Indonesia.
Begitulah, Bung Karno, dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Djilid I, bahwa Islam yang sejati tidak mengandung azas anti-nasionalis dan tidaklah bertabiat anti-sosialistis. Selama kaum Islamis memusuhi faham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, maka menurutnya kaum Islamis tidak berdiri diatas Sirothol Mustaqim, dan selama itulah Islam diambang politisasi kepengingan pragmatisme opportunis dari para pemangku kepentingan diri sendiri.
Bahkan, Seyid Jamaluddin El Afghani mempropagandakan nasionalisme dan patriotisme, penghormatan diri sendiri melalui gerakan Pan-Islamisme, sehingga Seyid Jamaluddin dikenal sebagai bapak nasionalisme Mesir.
Dasasila Bandung Sebagai Spirit Membangun Bangsa Timur Tengah
Bukan perkara mudah menjadi bangsa atau negara untuk ikut andil dalam perdamaian dunia, salah satunya yakni menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi bangsa dan negara kawasan Timur Tengah beserta Rakyat yang berpenghuni disana. Meskipun informasi dan dugaan yang cukup mudah, berkaca secara historis bahwa Inggris, Amerika Serikat hingga sekumpulan negara yang tergabung di NATO mengintervensi kedaulatan dan kemandirian secara teritorial bangsa dikawasan Timur Tengah.
Sedari awal, bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi rasa persaudaraan, cinta dan kasih sesama manusia, tidak menginginkan suatu kawasan terjadi konflik kepentingan pragmatisasi dan opportunis dari suatu negara tersebut. Sejarah membuktikan bahwa negara superpower sedang berkonflik dikarenakan perbedaan dan berselisih secara ideologi diantara Blok Barat (Amerika dan Sekutunya) dan Blok Timur (Uni Soviet dan sekutunya). Tentu sangatlah miris jika dua blok tersebut mempengaruhi sikap dari negara kawasan Timur Tengah (selain Israel karena menjadi negara boneka Amerika Serikat).
Oleh karena itu, jika berkaca pada spirit Dasasila Bandung pada Konferensi Asia – Afrika (KAA) yang diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 – 25 April 1955. Adapun point butirnya yakni:
- Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
- Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
- Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil.
- Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soalan-soalan dalam negeri negara lain.
- Menghormati hak-hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian ataupun kolektif yang sesuai dengan Piagam PBB.
- Tidak menggunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara besar dan tidak melakukannya terhadap negara lain.
- Tidak melakukan tindakan-tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah maupun kemerdekaan politik suatu negara.
- Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrasi, ataupun cara damai lainnya, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan sesuai dengan Piagam PBB.
- Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
- Menghormati hukum dan kewajiban–kewajiban internasional.
Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, sebelumnya terbit di Proklamator ID, 06 Janurai 2022.