Telegrafi – Perempuan dalam budaya patriarki yang sering diasosiasikan dengan manusia kelas kedua, akan selalu menempatkan perempuan sebagai orang yang paling dirugikan. Realitas ini bisa kita amati dalam film yang yang viral akhir-akhir ini yakni Gadis Kretek.
Film ini sebetulnya berasal dari karya sastra novel yang ditulis oleh Ratih Kumala yang pertama kali terbit pada tahun 2012. Jika diperhatikan dengan seksama novel ini merupakan bentuk kegelisan atas kontruksi budaya masyarakat yang memarginalisasi perempuan baik dalam ekonomi, peran publik dan penggambilan kebijakan .
Jeng Yah sebagai aktor utama dalam film tersebut memiliki pandangan dan ide progresif terhadap kontruksi gender yang selalu menempatkan perempuan hanya sebatas pegawai dan berada pada kelas kedua tanpa memiliki kewenangan dan peran yang strategis dalam industri rokok.
Perempuan sebagai pegawai memiliki aktivitas pekerjaan sebagai “tukang linting” dan tidak lebih dari itu, sehingga gaji yang diperoleh tidak seberapa dan stagnan. Hal tersebut berdampak pada status sosial dan stereotipe publik yang meremehkan dan merendahkan perempuan.
Dari sisi ekonomi dan kontribusinya, dengan mengakarnya budaya patriarki dan stereotipe masyarakat dengan narasi bahwa perempuan tidak boleh “neko-neko”. Dalam film ini ditunjukkan bahwa perempuan tidak boleh masuk ruangan saus apalagi meraciknya. Apabila ruangan tersebut dimasuki oleh perempuan dianggap akan menimbulkan malapetaka bagi industri yang dijalankan, sehingga perlu dilakukan ritual pemebersihan secara khusus.
Hal ini, di dalam paradigma Marxis akan menimbulkan minimnya perolehan modal kapital dan ekonomi bagi kaum perempuan. Minimnya modal kapital inilah faktor utama yang mendasari lahirnya budaya patriarki dan menimbulkan tindakan deskriminasi dan marginalisasi terhadap diri perempuan.
Perempuan Korbannya
Film Gadis Kretek juga menggambarkan tentang bagaimana perempuan juga menjadi korban atas konflik dan perilaku dari kelompok idiologi tertentu yang ingin melakukan perubahan secara radikal.
Walaupun Jeng Yah sebagai sosok perempuan pada awalnya berupaya membangun kesetaraan gender dengan mamaksimalkan potensi yang dimiliki perempuan pada industri rokok. Tetapi, pertemanan dan kedekatan Soraja dengan kelompok radikal, justru menyeretnya pada kasus yang rumit.
Kasus kelompok ini bahkan menjadikan Jeng Yah harus kehilangan keluarga dan masa depan yang diimpikannya. Dalam konteks ini, menunjukkan secara nyata bahwa budaya patriarki dan berkembangnya idiologi radikal akan selalu menjadikan perempuan termarginalkan dan menjadi insan yang paling dirugikan.
Wallahu ‘alam