Telegrafi  – Rilis BPS menegaskan bahwa inflasi Mei 2018 hanya 0,21%. Hal ini tidak saja bisa memberikan penegasan tentang rendahnya dampak pelemahan rupiah dalam sebulan terakhir, tapi juga identifikasi terkait dampak depresiasi rupiah terhadap laju inflasi di bulan Ramadan. Padahal, ancaman adanya inflasi musiman selama Ramadan – Lebaran selalu menghantui target besaran inflasi tahunan.

Di satu sisi imbas inflasi Mei yaitu laju inflasi tahun kalender menjadi 1,3% dan inflasi tahun ke tahun 3,23% dan di sisi lain inflasi Mei 2018 lebih rendah dibanding 2 tahun periode sebelumnya. Penyumbang utamanya adalah bahan makanan utamanya daging ayam dan telur ayam sebesar 0,07%. Meski demikian, inflasi musiman harus dijaga karena masih ada ancaman inflasi Lebaran pada Juni 2018. Ancaman inflasi musiman tidak bisa lepas dari tingginya perputaran uang akibat pembayaran THR dan gaji ke-13.

Ramadan – Idul Fitri tidak pernah terlepas dari harapan pencairan THR bagi karyawan. Bahkan, THR merupakan salah satu aset penting pada momen Lebaran, selain gaji ke-13. Paling tidak, ini terlihat alokasi mudik dan belanja Lebaran yang 82% berasal dari THR, baru sisanya 18% dari tabungan.

Bayangkan jika THR tidak dibayar? Berarti alokasi itu harus dipenuhi dengan menguras tabungan. Karena itu, beralasan jika pemerintah mengimbau dunia usaha untuk membayarkan THR kepada karyawan tanpa terkecuali. Meski demikian setiap tahun tetap saja ada dunia usaha yang tidak membayar THR kepada karyawannya dengan berbagai dalih.

Belajar dari pengalaman, seharusnya THR tidak menjadi beban dunia usaha. Karena THR adalah hak pekerja dan ini diperjelas dengan Permenaker no 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan sesuai Peraturan Pemerintah no 78 Tahun 2015. Oleh karena itu, seharusnya dunia usaha mempersiapkan sedari dini dana THR sebagai upaya untuk meminimalisasi kemungkinan tidak terbayarkannya THR tersebut.

Adanya ketidakseriusan sejumlah dunia usaha mensikapi surat edaran tersebut membuat setiap tahun selalu ada berita tentang konflik seputar pembayaran THR di berbagai daerah. Jika ini terjadi maka mayoritas nasib buruh – pekerja adalah korbannya.

Alasan klasik yang menjadi dasar bagi dunia usaha untuk tidak membayarkan dana THR adalah situasi perekonomian yang lesu. Selain itu, krisis di Eropa setahun terakhir tentu akan menjadi alasan bagi dunia usaha untuk mengebiri pembayaran THR. Jika alasannya adalah situasi ekonomi, maka seharusnya dunia usaha me-manage-nya sedemikian rupa sehingga pembayaran THR tidak memberatkan. Itupun jika dunia usaha menyadari THR adalah hak para pekerja. Diprediksikan, Lebaran tahun ini semakin banyak dunia usaha yang akan mangkir membayar THR.

Jika ditelusur, muara dari persoalan THR yaitu perbedaan versi pekerja dan dunia usaha. Bagi pekerja, THR merupakan pendapatan atau dana ekstra untuk pemenuhan kebutuhan Lebaran. Oleh karena itu, benar adanya bahwa alokasi pemenuhan kebutuhan Lebaran berasal dari THR. Di sisi lain, THR bagi dunia usaha adalah kewajiban yang cenderung memberatkan jika tidak di-manage secara bijak – tepat. Apalagi saat ini dunia usaha sedang didera problem kenaikan berbagai bahan baku yang berpengaruh terhadap ongkos produksi, plus ancaman krisis dari eropa, depresiasi rupiah dan daya beli yang melemah.

Sangat sulit mencari titik temu dari dualisme kepentingan ini. Oleh karena itu pemerintah melalui pihak terkait mengeluarkan surat edaran. Ironis, meski sudah ada regulasi dan ketentuan yang jelas, termasuk batas waktu pembayarannya paling lambat seminggu sebelum Lebaran, masih juga ada banyak pengebiran hak-hak pekerja dalam pembayaran THR.

Dibalik konflik tahunan seputar THR dan peran mediasi pemerintah, maka keberadaan lembaga tripartit sangatlah penting. Lembaga yang biasanya terdiri dari Disnaker sebagai wakil dari pemerintah, Asosiasi Pengusaha Indonesia – Apindo dari wakil dunia usaha dan juga serikat pekerja wakil pekerja. Sayangnya, bargaining pekerja dalam lembaga tripartit ini cenderung minor. Karena itu jika sudah menerima, bijaklah membelanjakan THR. Jangan sampai THR dimaknai sebagai Tekor Habis Ramadan.


Oleh Dr Edy Purwo Saputro SE MSi. Dosen Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Solo. Photo : FILE/Dok/Ist. Photo