TELEGRAFI
Dilema Publik Terhadap Pandemi Covid -19 Dalam Pemikiran Friedich Nietzsche.

Dilema manusia menghadapi pandemi COVID-19, dengan segala keterbatasannya dalam menjalankan segala macam aktivitasnya karena adanya politik hukum yang dituangkan dalam bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ya mungkin saja maksud dan tujuan dari pemerintah terdapat dua persepsi yang berbeda soal pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Pertama, Persepsi Pro terhadap kebijakan pemerintah adalah dikarenakan demi kepentingan secara publik atas keselamatan masyarakatnya agar tidak terpapar adanya covid-19 dengan segala variannya (Varian Alpha, Delta, Omicron, entah apa lagi jenisnya). Kedua, Persepsi kontra terhadap pemerintah atas kebijakan pembatasan masyarakat yang dikhawatirkan meningkatkan kemiskinan dikarenakan rendahnya aktivitas masyarakat dalam proses transaksi ekonomi.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, atas fenomena yang terjadi saat ini adalah merebaknya wabah virus corona semakin hari semakin meningkat. Berdasarkan data per tanggal 19 Februari 2022, angka terkonfirmasi positif covid-19 bertambah 59.635 dengan total 5.089.637. Tentu semakin bertambahnya jumlah warga Indonesia yang terjangkit, semakin pula potensi gangguan secara psikis manusia akan bertambah.
Dengan segala upaya dalam rangka menekan laju penyebaran covid-19, hingga saat ini pemerintah Indonesia semaksimal mungkin melaksanakannya vaksinasi secara massal berupa vaksin booster. Meskipun dalam persepsi masyarakat terjadi dualisme pemikiran sebagaimana vaksinasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah yakni Pertama, bagi masyarakat yang pro terhadap kebijakan pemerintah atas vaksinasi tersebut dalam rangka upaya peningkatan imunitas tubuh agar tidak mudah terjangkit virus corona yang begitu merebak. Kedua, bagi masyarakat yang kontra terhadap penyelenggaraan vaksinasi karena adanya dugaan rekayasa bisnis yang dilakukan oleh korporat oligarki yang bermesraan dengan memperkaya segelintir kelompoknya, atau istilah masyarakat awam mengenalnya “jualan obat”,
Meskipun sebagai orang awam masih belum bisa membuktikan secara otentik apakah rekayasa tersebut faktual atau hanya berpusar dalam asumsi belaka. Dengan harapan penulis bahwa tidak adanya sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa pejabat Negara, seperti halnya menteri, legislator maupun lembaga peradilan yang bermesraan dengan kapitalisme menjelma birokrat atas nilai dasar kenegaraan secara idiil dan konstitusional yakni Pancasila dan UUD 1945. Tentunya visi yang digagas oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo sangat visioner dan meneropong kedaulatan Negara dan kesejahteraan masyarakat Indonesia yakni “Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berdasarkan Gotong Royong”.
Tentunya, kita sebagai masyarakat yang mempunyai segudang potensi sumber daya alam dan manusia dengan penduduk kurang lebih dari 270 juta jiwa. Tentu perlu adanya beberapa terobosan secara akademik maupun empirik atas fenomena tersebut. Jikalau perlu adanya sayembara yang difasilitasi oleh pemerintah untuk masyarakat dalam rangka menemukan beberapa obat tradisional dan herbal, serta mengantisipasi adanya pandemi covid-19. Jika tidak ada sayembara tersebut, atau terobosan terobosan akademik, lantas mau dibawa kemana bangsa ini, jika tidak adanya terobosan secara inovatif untuk menekan laju penyebaran covid-19 ?
Wacana Friedrich Nietzsche dan Kritik Kapitalisme Pandemi COVID-19
Ketika saya dikala itu masih menjadi mahasiswa program Sarjana Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA), mencoba menggeluti beberapa pemikiran para tokoh filsafat atau filsuf terkenal dan terkemuka di peradaban Barat. Meskipun dalam jurusan saya mengajarkan beberapa mata kuliah pengantar filsafat, filsafat ilmu dan islam, hingga filsafat pendidikan Islam. Saya mencoba menginisiasi dan menelaah tentang pemikiran sosok filsuf yang dikenal sebagai filsafat eksistensialisme yakni Friedrich Wilhelm Nietzsche yang memuat pernyataan, dalam bukunya Zarathustra, karya sastra yang cukup ekstrim dalam kacamata awam yakni “God is Dead” atau “Tuhan telah Mati”.
Secara historis bahwa Friedrich Nietzsche Dilahirkan dari keluarga yang kental dalam ajaran kristen, yakni bapaknya yang bernama Lutheran Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) merupakan pendeta, berpasangan dengan Franziska. Meskipun Seorang Friedrich Nietzsche dididik dan diajarkan untuk menjadi orang salih, ia mencoba meng-antithesis pengalamannya dengan melihat realitas, bahwa agama pada abad ke-18 di Barat, Nietzsche merasa sinis terhadap otoritas berlebihan dan kampanye perang di Eropa. Serta otoritas gereja di zaman tersebut masih belum bisa menyelamatkan manusia dari dekadensi atas realitas penindasan, penjajahan, pengkotak-kotakan manusia.
Wacana yang dibangun oleh Friedrich Nietzsche tentang Ubermensch (Manusia Unggul), tentu memposisikan diri manusia sebagai makhluk yang unggul dan mampu berkehendak atas akalnya. Selain itu, konsep tentang Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa) menjadi pijakan untuk melakukan serangkaian tindakan – tindakan dengan berbagai macam platform. Jika dalam konteks fenomena manusia mempunyai hasrat untuk menguasai, hal tersebut menjadi kontradiktif atas gagasan tentang kemanusiaan soal kesetaraan jika berpihak kepada segelintir elit, jika ditinjau dalam sudut pandang ekonomi.
Selain itu pula, wacana Kehendak untuk Berkuasa atas individu atau segelintir orang, atau kedaulatan rakyat secara umumnya tentu harus bersikap. Pasalnya Rasionalisme Ilmiah dalam pertarungan kelas berselingkuh dengan borjuis atau kapitalisme atau imperialism. Sehingga Rasionalisme Ilmiah harus memihak kepada kesetaraan atas kedaulatan rakyat secara sepenuhnya. Pasalnya rasionalisme Ilmiah ditinjau dari sudut pandang Kapitalisme, menjadi suatu kerusakan atas semesta alam, terjadi dualisme pertarungan kelas ekonomi yang merembet di sektor sosial.
Tentunya hal ini menjadi perenungan yang sesungguhnya bagi manusia yang saat ini berpijak pada semesta alam. Sebuah otokritik atas manusia-manusia yang dibilang unggul atas spesies-spesies lainnya. Padahal secara mendasar dan diyakini, manusia yang mempunyai akal dan hati, yang dapat memberikan tanda-tanda komunikasi berupa bahasa, manusia sebagai wakilnya Tuhan telah diperdayakan oleh suatu fenomena yang cukup mencengangkan yakni virus Covid-19 menjadi Pandemi.
Dunia saat ini telah dibajak oleh konspirasi global berwatak kapitalisme maupun imperialisme, meskipun sejarah mencatat bahwa Negara Negara lain menganut paham tersebut, dan selalu mengatasnamakan demokrasi, HAM yang berdampak pada liberalisasi yang dilakukan oleh Kapitalisme Imperialisme. Beberapa peneliti atau institusi pendidikan Barat mencoba menciptakan, mengemas hingga memproduksi obat farmasi, yang kemudian dijadikan alat diplomasi kesehatan atas penawaran tersebut. Dalam rangka memperlancar kepentingan ekonomi dan menguasai dunia oleh korporasi tersebut, serta menghisap masyarakat proletar skala Internasional.
Oleh karena itu, Gagasan Nietzsche tentang Ubermensch (Manusia Unggul) dan Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa) sudah menjadi kepentingan kolektif atas kedaulatan rakyat secara umum untuk mendobrak dan revolusi. Sejarah mencatat bahwa Marxisme yang tumbuh di Soviet menjadi suatu romantisme Materialisme Dialektika dan keberhasilan sejarah, sehingga saat ini wacana revolusi marxisme menjadi ketakutan tersendiri oleh Blok Barat seperti Amerika Serikat dan Sekutunya yang mencoba mengontrol dunia dengan mengatur Negara – Negara yang menjadi sekutunya. Hingga wacana Marxisme Phopia, Komunisme Phobia sarat kental terjadi, khususnya di Negara – Negara Blok Barat ideologi marxisme atau komunisme semacam “hantu”.
Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
