TELEGRAFI
Mengapa Ada Tangis Mega?

Telegrafi – Heboh membicarakan tangis. Belum lama ini jagad politik di Indonesia dibikin heboh oleh tangis seorang tokoh besar di tanah air. Tentu tak sembarangan jika ada tangis yang mampu hasilkan banyak interpretasi di lanskap politik. Sebuah tangis dengan efek besar (mega) dari orang besar Megawati Sukarnoputri.
Tentu publik sangat mahfum jika tangis itu menjadi satu tangis yang tak biasa. Baik dalam makna denotatif maupun konotatif. Tangis mantan presiden Megawati Sukarnoputri untuk Presiden Joko Widodo tentu tak biasa untuk bisa juga menyebutnya luar biasa.
Tangis Mega yang tak biasa ini mampu menjadi tanda sekaligus penanda bermakna banyak atau polisemi. Tak heran tafsir pun merebak bak jamur di musim hujan. Tangis Megawati Sukarnoputri ramai mendapat tanggapan baik positif dan negatif.
Interpretasi negatif menyebut tangisan itu lebih baik untuk rakyat yang sedang susah. Berujung dengan menyebutnya sebagai anti kritik. Disisi lain ditafsirkan positif menganggap tangisan itu suara hati seorang ibu yang prihatin atas kritik kelewatan terhadap presiden Jokowi secara personal dan tak beretika dengan menyebut “kodok”, sementara presiden sedang bekerja keras untuk mengatasi persoalan rakyatnya.
Dalam khasanah sosial dan sastra, tangis sering menjadi metafor yang kaya makna. “Nobody deserves your tears, but whoever deserves them will not make you cry” begitu ungkapan novelis Kolombia Gabriel Garcia Marquez yang terkenal dengan genre sastra realisme magis.
“Tak serorangpun patut mendapat air mata anda, namun siapapun yang patut mendapatkannya takkan membuat anda menangis”. Jika menilik ungkapan Garcia Marquez itu maka tangis “Ibu Mega” tentulah tangis yang istimewa dan juga untuk sesuatu hal istimewa.
Lantas apa keistimewaan tangis mega itu, menjadi pertanyaan baru. Sepintas keistimewaan tangis Ibu Megawati Sukarnoputri secara nyata memang sudah istimewa dengan sendirinya di dalam tangis sebagai tangis itu sendiri. Sesuatu yang ditangisi tokoh besar tentulah istimewa.
Saking istimewanya banyak tafsir bermunculan. Dikalangan politisi atau pengamat politik, tangis itu kemudian menjadi sesuatu yang dinarasikan berbeda dari sekedar tangis biasa.
Tangis memang dalam dirinya sudah istimewa sebab sering dianggap merepresentasi sebuah komunikasi yang utuh. Tanpa topeng. Dengan begitu ia merepresentasi sebuah tindakan yang secara alamiah memiliki makna khusus.
Namun bagi kalangan politisi dan pengamat yang terbiasa dengan kehidupan politik yang profan (biasa) keistimewaan itu tentu tak mampu ditangkap. Sebaliknya akan cenderung dikaitkan dengan konfigurasi politik yang sedang dan mungkin terjadi. Bahkan setiap kemungkinan dari pertanyaan publik yang muncul sesudahnya dari aktivitas tangis itu cenderung dijawab dengan spekulasi berkaitan dengan peta politik atau proyeksi kepentingan tertentu.
Ada juga yang mengaitkannya dengan relasi kekuasaan yang sedang berjalan dan yang akan berjalan. Semua terkesan menduga-duga atau bahkan yang lebih agresif cenderung melempar narasi dugaan yang seringkali tanpa data yang spesial. Publik pun sebagian nampak senang ikut berspekulasi.
Mengapa Ada Tangis Mega?
Bagi kalangan tertentu yang tak puas dengan segala penampakan (appearance), tangis memiliki makna khusus bahkan ketika itu berkaitan dengan dunia kekuasaan maka akan menuai arti khusus. Terutama bagi yang terbiasa dengan melihat fenomena politik dari kupasan setting (behind) dan proyeksi visi (beyond). Golongan ini tak hanya akan berhenti pada apa yang dilihatnya.
Dimensi dibalik yang terlihat justru akan lebih menarik bagi kalangan ini. Biasanya menjadikan satu kejadian sebagai perlambang atau simbol. Tak heranlah tentunya, kita bisa pinjam pikiran Ernst Cassirer (1944) yang mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum atau makhluk yang penuh simbol yang didasarkan pada refleksinya terkait simbol-simbol dalam realitas hidup manusia.
Kemampuan manusia dalam menggunakan simbol dianggap wujud nyata dari kemampuan manusia dalam berbahasa, hal itu bahkan dianggap lebih tinggi dari kemampuan berpikir manusia.
Pertanyaanya kemudian adalah, mengapa Megawati Sukarnoputri menangis?
Simbol apakah yang mewakilinya?
Bukankah tangis juga tidak selamanya merepresentasi kesedihan atau keprihatinan?
Tentu biarlah pertanyaan-pertanyaan itu tetap memiliki dimensi keluasannya jika tanpa di interpretasi. Interpretasi selalu dekat dengan jurang keliru. Jika pengarang masih ada tentu tak butuh prnafsir. Ibarat dunia teks maka itu masih otonom. Penafsir dekat dengan potensi menghianati makna dan keaslian yang sesungguhnya ada. Meminjam istilah Itali ‘Traduttore, traditore’ atau ‘The translator is a traitor’.
Tangis Megawati Sukarnoputri untuk Presiden Jokowi sebetapapun istimewanya namun bukan satu-satunya “tangis Mega” yang pernah ada. Dalam rekam jejak pemberitaan media yang bisa kita dapati, Megawati Sukarnoputri juga menangis saat memberi pengarahan kepada generasi muda di saat memeberi pesan agar generasi muda turut berjuang dan peduli terhadap permasalahan negara. Tangis lain juga terjadi saat wawancara bersama salah satu media nasional menjawab pertanyaan apakah cita-citanya untuk Indonesia dan dijawabnya dengan ungkapan hasrat terdalamnya ingin melihat Indonesia jaya dengan menyebutnya “Saya ingin Indonesia Raya” sambil terisak. Masih banyak yang lainnya.
Dalam usianya yang terbilang senior di jagad politik nasional Megawati Sukarnoputri bisa dibilang setia dalam kepedulian pada perjuangan kepentingan nasional. Tindakannya yang seringkali tidak bisa ditebak menyisakan banyak pelajaran sekaligus mengafirmasi bahwa politik adalah seni.
Mega ahli seni politik yang membuat politik masih memiliki banyak dimensi dari sekedar kontestasi dan nominasi. Tidak berarti bahwa “tangis mega” itu tangisan politik.
Megawati Sukarnoputri berpolitik dengan hati nurani. Ia seringkali mampu seperti buku yang terbuka, membuat semua orang bisa dan minat menafsir, menganalisa dan sebagian mengikuti tindakannya.
Namun apa yang sesungguhnya terjadi di balik “tangis Mega” hanya ia yang masih secara otonom mampu otentik menjelaskannya. Dari tangis mampu membuat geliat politik, menambah tanda ia politisi besar yang saat ini ada. Sebab tak semua tangis menjadi sejarah dan mampu menciptakan sejarah baru. Meski, mengapa ada “tangis Mega” itu juga sudah merupakan tanda dan penanda tersendiri.
Penulis: Janu Wijayanto (Alumni SKSG UI) – Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
