Telegrafi – Indonesia merupakan negara yang beraneka ragam dari suku, ras, agama, bahkan ideologi yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Keberagaman yang mengacu di dalam bangsa Indonesia sesuai dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua) yang mampu mempersatukan bangsa lain dari faham-faham yang ekstrem atau bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia, “Pancasila”, sebagai landasan idiil bangsa Indonesia. Dengan paham nasionalisme, islamisme, dan marxisme merupakan bagian dari awal mulanya dirumuskannya Pancasila, sebagai hasil perenungan dari Bung Karno selama hijrah dari penjara ke penjara, pulau ke pulau ketika menjadi seorang tahanan politik, karena dapat mengancam kaum kolonialisme dan imperialisme Belanda yang tidak manusiawi.
Meninjau dari segi historis, bangsa Indonesia merupakan realitas masyarakat Indonesia yang tergerus oleh paradigma penindasan yang dilakukan oleh Belanda sehingga tak memberikan kesejahteraan oleh kaum proletar (atau identik dengan kaum golongan kecil dalam prespektif kesejahteraan). Karena itulah Bung Karno dengan sengaja menuliskan bab yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” di buku “Di Bawah Bendera Revolusi Djilid I” tentang semangat revolusi dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia tanpa adanya ketergantungan oleh bangsa lain. Ini semua dengan maksud dan tujuan agar masyarakat Indonesia dapat merasakan kesejahteraan melalui pemanfaatan kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia sehingga konsepsi dalam Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai ideologi perjuangan dan gerakan menuju tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial untuk rakyat Indonesia.
“Sebagai aria-bima poetera jang lahirnja dalam zaman perjoeangan, maka Indonesia Moeda inilah melihat tjahaja bangsa Asia jang sesama nasib dalam perasaan tak senang dengan nasib politiknja, tak senang dengan segala nasib-nasib jang lainnya”
“jang pertama-tama menjebabkan kolonialisasi ialah hampir selamanja kekoerangan bekal hidoep dalam tanahnja sendiri” begitoelah Dietrich Schafer berkata “Kekoerangan Rezeki, itoelah jang menjadi sebab rakjat rakjat itoe mendjadjah negeri-negeri , dimana mereka bisa mendapatkan rezeki itoe.”
Begitoelah tragik riwajat-riwajat negeri-negeri jajahan! Dan keinsjafan akan terdjadi jang menjadarkan rakjat-rakjat djadjahan itu, maka Spirit Of Asia masilah kekal. Roh asia masih hidoep sebagaai api jang tiada padamnya! Rakjat indonesia kita jang maksoednja sama, jaitoe tiga sifat: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Dengan statement yang di atas menunjukkan bahwasanya tidak hanya di Indonesia, akan tetapi bangsa lain yang mencakup negara asia juga merasakan ketertindasan oleh kolonialisme dan imperialisme yang begitu keji sehingga gerakan kapitalisme semakin masif dengan tuntutan masyarakat Indonesia kerja tanam paksa. Dan menjadi langkah solutif adalah dengan semangat gerakan progresif revolusioner yang menjebol tatanan yang pragmatis terhadap realitas kapitalistik yang keji dan tak manusiawi.
Unsur dari ketiga sifat Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme merupakan ideologi dari satu kesatuan yang utuh sehingga menghasilkan roh persatuan, apabila 3 unsur ini dapat direalisasikan dengan baik oleh seluruh elemen bangsa Indonesia atau Bangsa Asia, maka kekuatan dalam menghadapi faham imperialisme dan pengikutnya dapat digulingkan.
Nasionalisme merupakan faham yang mengedepankan cinta tanah air yang menjadi suatu konsesus bersama untuk suatu kelompok maupun negara. Yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah Nasionalisme Fasisme maupun Nasionalisme yang Chauvinistik, akan tetapi Nasionalisme Indonesia dalam pendekatannya “Humanistik”, seperti dalam statement bung karno yaitu “My Nation Is Humanity” (Nasionalisme yang memanusiakan manusia).
Islamisme merupakan faham dari ajaran agama Islam yang bersifat dogmatis. Islam juga menolak imperialisme karena bertentangan dengan kaidah-kaidah dalam pandangan Islam, karena Islam tidak mengajarkan dalam merugikan orang lain. Sedangkan Marxisme merupakan gerakan revolusi yang diadopsi oleh Bung Karno melihat realitas kaum proletar di eksploitasi keringatnya yang tidak sesuai denagan upah yang begitu wajar (atau kerja tanam paksa di era Belanda).
Oleh: Aji Cahyono, pernah terpublish di Watyutink, 02 April 2019.