Judul yang saya munculkan sebagai penulis, mungkin dugaan saya terkesan ndaki – ndaki, mbuletisasi (berputar-putar) atau terlalu ‘mengkhayal’. Mungkin saja, dalam alam pikir saya, menjadi presiden Republik Indonesia (RI) adalah amanat yang berat. Akan tetapi saya meyakini, jika Ganjar Pranowo menjadi Presiden RI, dengan bekal pengalamannya menjadi Anggota DPR-RI dan Gubernur Jawa Tengah, menjadi keharusan dirinya tak hanya dimiliki oleh masyarakat Indonesia, melainkan Internasional. Terutama kelanjutan dari Presiden Bung Karno, pencetus Marhaenisme, tidak hanya dikenal oleh rakyat Indonesia saja, melainkan Dunia.
Pernyataan argumentasi yang saya bangun, karena narasi Ganjar Pranowo bermunculan di media massa, tidak terlepas dari pemikiran Bung Karno. Jika kita menelisik lebih dalam pemikirian dan perjuangan Bung Karno, dalam hidupnya menghibahkan dirinya untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia serta meletakkan pembangunan pondasi kebangsaan. Selain itu, Bung Karno melakukan penyadaran dengan melawan kolonialisme/imperialisme, serta mengkonsolidir dengan Negara – Negara berkembang, misalnya bangsa Asia dan Afrika untuk mendapatkan haknya sebagai Negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Hal tersebut dilakukan ketika terselenggaranya Konferensi Asia dan Afrika, pada 18-22 April 1955 di Bandung.
Oleh karena itu, menjadi seorang presiden adalah bukan perkara mudah, akan tetapi seorang presiden mampu menterjemahkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat, membangun persatuan pada internal bangsa Indonesia diantara bangsa etno-nasionalisme, maupun mewakili Negara Republik Indonesia dalam berdiplomasi, dalam rangka menciptakan perdamaian abadi dan keadilan sosial pada tataran masyarakat dunia.
Sejauh pengamatan penulis wacana yang berkembang di media massa, tidak ditemukan peristiwa secara historis mengenai catatan hitam seorang Ganjar Pranowo terlibat dalam tragedi kejahatan sistemik Hak Asasi Manusia (HAM) maupun memainkan politik identitas yang menjatuhkan lawannya dalam kontestasi pemilu selama bertarung di Pilgub Jawa Tengah.
Oleh karena itu, bagi penulis, sejarah bangsa Indonesia pada masa lampau, misalnya, pelanggaran HAM dengan penghilangan jejak aktivis mahasiswa 98, perlakuan represif terhadap masyarakat Timor Timur, ataupun politik identitas pada tahun 2017 hingga pilpres 2019, tidak terulang kembali pada Pemilu 2024, terutama Pilpres.
Genealogi Pemikiran Ganjar Pranowo
Meskipun saya tidak menjumpai ataupun ngobrol secara langsung dengan sosok Bung Karno maupun Ganjar Pranowo (Bung Ganjar), sekurang-kurangnya, pengamatan literatur atau aktivitas di sosial media menjadi hal fundamental dan urgent dalam pengembangan tulisan ini. Meskipun demikian, tulisan ini tidak terlepas dari rutinitas bangun tidur, buka laptop dengan tipe keluaran tahun 2010-an disambi ngopi (kopine kadang pahit/manis), plus ber-uzlah memproduksi gagasan maupun narasi-narasi kebangsaan.
Secara singkat, bahwa kehidupan Bung Ganjar sederhana. Dilahirkan dan tumbuh berkembang di pedesaan, yang mayoritas penduduknya adalah bertani. Tentu, peran ‘Petani’ kepanjangan dari “Penyangga Tatanan Negara Indonesia” atau ‘Tani’ yang kepanjangannya ‘Tiang Agunge Nagari’. Sehingga semasa mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta. Bung Ganjar aktif dan berdiskusi dengan jaringan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) atau Gemini Studi Club.
Meskipun demikian, bahwa berstatus formal menjadi anggota GMNI era Orde Baru merupakan perjuangan extra-ordinary. Hal ini dikarenakan kekuatan dari rezim Orde Baru dalam menekan pergerakan pengikut Bung Karno, terutama GMNI berazazkan Marhaenisme yang berbasis pada mahasiswa. Penyembunyian identitas sebagai Pengikut Bung Karno pada era Orde Baru adalah sebuah alternatif, untuk menyelamatkan diri serta pemikiran dan ajaran Bung Karno tetap subur dan berkembang dalam indoktrinasi.
Penulis juga sangat minim bertemu atau bersilaturahmi (dalam proses pencarian) dengan beberapa alumni GMNI. Sekurang-kurangnya, referensi yang berkaitan dengan dinamika pengikut Bung Karno era Orde Baru. Begitupun Bung Ganjar, dugaan penulis merasakan efek tekanan rezim Orde Baru, ketika mendiskusikan tentang ajaran ajaran Bung Karno dari kos ke base camp, maupun base camp ke kos, secara sembunyi sembunyi. Ibaratnya ketika Rasulullah berdakwah agama Islam secara sembunyi sembunyi (melalui keluarga dan orang terdekatnya).
Tentu, buku bacaan wajib Bung Ganjar sebelum terjun kedalam politik praksis adalah 1) Indonesia Menggugat, 2) Dibawah Bendera Revolusi Djilid I & II, 3) Mencapai Indonesia Merdeka, 4) Pidato Lahirnya Pancasila, dan 5) Sarinah, dan lain-lain yang relevan. Hingga sepanjang perjalanannya, pengabdian politiknya mengantarkan untuk menjadi Anggota DPR-RI dua periode hingga Gubernur Jawa Tengah 2 Periode.
Pemikiran Marhaenisme Ganjar Pranowo: Tindakan Praksis
Dalam buku di Bawah Bendera Revolusi, bahwa Marhaenisme mencakup Sosio-Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Jelas, pemikiran Marhaenisme Ganjar Pranowo terbentuk, karena tidak terlepas dari proses panjangnya dalam menyelami pemikiran Bung Karno melalui bahan bacaannya, maupun indoktrinasi melalui seniornya. Misalnya yakni melalui kolega aktivis selama berproses di UGM, kemudian menjadi simpatisan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) hasil kongres 1993 Surabaya, mendapatkan bimbingan ideologi oleh Guntur Soekarnoputra, hingga penggemblengan politik kerakyatan melalui partai politik oleh Megawati Soekarnoputri dan Alm. Taufik Kiemas.
Keberhasilan Ganjar Pranowo menjadi Gubernur Jawa Tengah, yang menduduki elektabilitas 3 besar teratas berdasarkan hasil riset diberbagai lembaga penelitian, tak lupa restu dari orang tuanya dalam penanaman nilai karakter sebagai tipologi orang pedesaan di Jawa, sekaligus pendidikan politik dari Partai Politiknya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dibawah ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Persepsi penulis, penentuan Ganjar Pranowo bukan ‘mak ujug-ujug’ muncul, melainkan yakni hasil musyawarah yang mufakat internal PDI-P, berdasarkan akumulasi kriteria kader yang akan dimandatkan, serta hasil dari riset aspirasi dari rakyat Indonesia. Sehingga mengerucutlah Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden RI. Sebagai penerus ideologi ajaran Bung Karno, baik secara ideologis maupun beberapa pola kebijakan Bung Karno secara praksis, pada masa lampau.
Sehingga dialektika pemikiran Bung Ganjar tidak hanya sebatas pada wacana teoritik belaka, melainkan pada tindakan praksis melalui instrumen lembaga Negara (Anggota DPR RI) maupun lembaga kedaerahan (Gubernur Jawa Tengah). Marhaenisme pada abad ke-21 masih relevan, jika mempunyai insting dalam interpretasi makna dari proses perumusan ideologi Bung Karno tersebut. Terutama genealogi lahirnya Marhaenisme, berangkat dari inspirasi Bung Karno bertemu dengan petani, yang ‘Mang Aen’. Oleh karena itu, petani dengan hasil pertaniannya, turut serta memproduksi gizi untuk kecerdasan rakyat Indonesia.
Aji Cahyono, Mahasiswa Master of Arts (MA) Student’s, Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.