Telegrafi – Peminadahan kedutaan besar (kedubes) ke Yerusalem menjadi masalah yang serius bagi penyelesaian konflik Palestina dan Israel. Setelah Amerika Serikat (AS) dan Guatemala memindahkan kedubes mereka pada 14 dan 16 Mei, kini Paraguay berencana akan memindahkan kantornya di akhir Mei ini. Langkah ketiga negara ini berpotensi akan diikuti negara lain khususnya negara-negara yang pro dengan Israel dan AS. Negara-negara yang memiliki potensi untuk mengikuti ketiga negara tersebut adalah Honduras, Micronesia, Nauru, Palau, Kepulauan Marshall dan Togo. Keenam negara ini merupakan negara-negara yang mendukung Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel dalam sidang umum Perserikatan BangsaBangsa (PBB) akhir tahun lalu.
Masalah pemindahan kedubes ke Yerusalem sangat mungkin akan bertambah di masa yang akan datang. Maka PBB yang memayungi kepentingan banyak negara harus segera mengambil langkah-langkah strategis terkait pemindahan kedubes yang dilakukan AS, Guatemala dan Paraguay ke Yerusalem. Jika PBB tidak mengambil tindakan konkret dikhawatirkan konflik Palestina dan Israel akan semakin sulit untuk diselesaikan. PBB diharapkan berperan aktif dalam menyikapi perpindahan kedubes karena hal ini akan jadi preseden bagi perdamaian Palestina dan Israel.
Jika kita cermati secara mendalam persoalan rumitnya masalah Yerusalem dan perpindahan kedubes ke Yerusalem setidaknya disebabkan dua faktor utama yakni persoalan di internal PBB, soliditas Liga Arab dan OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). PBB merupakan lembaga internasional yang menggantikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada 24 Oktober 1945. Dewan Keamanan PBB (DK PBB) merupakan salah satu dari lima lembaga yang ada di PBB yang cukup signifikan. Karena DK PBB lembaga ini bertanggung jawab terhadap keamanan dan perdamaian internasional.
Dalam lembaga DK PBB, AS merupakan salah satu dari lima anggota tetap yang memiliki peran penting dalam implementasi resolusi yang dikeluarkan DK PBB. Untuk kasus konflik Palestina dan Israel, sudah banyak resolusi yang dikeluarkan DK PBB untuk Israel, tetapi sebanyak itu pula Israel tidak mematuhi resolusi tersebut. Beberapa resolusi mengenai Yerusalem yang diokupasi Israel adalah resolusi 476 terkait dengan resolusi 252, 267, 271, 298, 465 dan 478. Resolusi-resolusi tersebut menyangkut aneksasi Yerusalem Timur oleh Israel pascaperang 1967.
Pengabaian resolusi-resolusi tersebut dilakukan Israel karena kedekatannya dengan AS. Jamak diketahui bahwa, AS adalah pemegang kendali di DK PBB. Selain pemegang hak veto, AS juga merupakan penyandang dana terbesar PBB yang mencapai 22%. Pada tahun 2017, AS di bawah Donald Trump mencoba mengajukan pemotongan sumbangan ke PBB untuk anggaran tahun 2018-2019, tetapi ini hanya sekadar taktik Trump untuk menekan PBB agar berlaku lunak terhadap Israel khususnya mengenai konflik Palestina dan Israel. Posisi AS yang sangat kuat di PBB inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab keberanian Trump memindahkan kedubesnya ke Yerusalem. Meski sebetulnya Yerusalem merupakan zona internasional yang statusnya harus dinegosiasikan terlebih dahulu antara Palestina dan Israel.
Liga Arab dan OKI diharapkan bisa menjadi kekuatan untuk ikut memperjuangkan Palestina khususnya mengenai Yerusalem. Tetapi mengharapkan kedua lembaga tersebut untuk membantu Palestina terkait Yerusalem akan sangat sulit terwujud. Karena internal OKI dan Liga Arab tidak solid mendukung Palestina menjadikan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina. Perpecahan di internal OKI bisa dilihat dari buruknya hubungan Turki dan Arab Saudi khususnya terkait masalah Suriah. Sementara di Liga Arab juga terkesan tidak serius untuk membela Palestina dalam kasus Yerusalem. Ketidakseriusan Liga Arab karena mereka memiliki kepentingan untuk beraliansi dengan Israel untuk melawan Iran yang merupakan lawan tradisional Arab Saudi.
Dapat disimpulkan, posisi Palestina yang terjepit dalam kasus Yerusalem terjadi akibat kuatnya posisi AS di PBB. Hal ini ditambah lemahnya soliditas di level OKI dan Liga Arab.
Oleh : Fatkurrohman MSi. Akademisi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Photo : Thomas Coex/AFP/Getty Images