TELEGRAFI
Pendidikan sebagai Instrumen Kesetaraan Gender di Indonesia

Indonesia dikenal sebagai Negara yang mengedepankan aspek keberagaman yang terinspirasi dari semboyan Negara yakni “Bhineka Tunggal Ika”, yang mempunyai makna yakni berbeda beda tetapi tetap satu jua. Ditengah keberagaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tentunya tidak terlepas peran dari seorang laki-laki dan perempuan. Sehingga menurut saya, apapun yang menjadi ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, tentunya mempunyai nilai kebermanfaatan dan mempunyai peran sesaui dengan kapasitas dan kabapilitasnya.
Perbedaan secara kodrati antara laki-laki dan perempuan, seringkali muncul sebuah fenomena tentang kekerasan seksual di Indonesia. Misalnya, berdasarkan data rilis yang dihimpun oleh Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada tahun 2022 dengan peluncuran CATAHU (Catatan Tahunan) 2022 dengan tema “Bayang-bayang stagnasi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan”, yang mana CATAHU 2022 melaporkan kasus terhadap perempuan selama tahun 2021, angka dengan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tertinggi, yakni meningkat 50% dibanding tahun 2020. Beberapa jenis KBG terhadap perempuan pada tahun 2021, diantaranya yakni Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) terhadap perempuan, KBGS terhadap perempuan disabilitas, kekerasan dengan pelaku anggota TNI dan Polri, serta kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenppaa) merilis data tahun 2022 dipantau pada bulan Juni 2022, jumlah kasus kekerasan seksual sejumlah 9.397 kasus dengan total korban laki – laki sejumlah 1.479 dan perempuan sejumlah 8.697, yang mana laki laki dengan presentase 20,8% dan perempuan dengan presentase 79,2% dengan status korban. Sedangkan pelaku seksual laki laki dengan presentase 89,7% dan perempuan dengan presentase 10,3%. Sehingga menurut amat saya pribadi bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara dengan darurat kekerasan, oleh karena itu harus ditangani secara serius oleh pemerintah dengan melibatkan stakeholder dengan melakukan penyadaran secara kolektif.
Meskipun demikian, persepsi saya mengenai kekerasan terhadap perempuan adalah karena munculnya ketimpangan atau ketidaksetaraan gender. Dalam hal ini, sejarah mencatat dan sudah melekat bahwa cara pandang dominan antara laki-laki terhadap perempuan, yang dikenal sebagai konsep patriarki, tentu dapat merugikan perempuan. Yang dikhawatirkan penerapan dari patriarki adalah menindas perempuan dan tidak diberikan haknya untuk bergerak sesuai dengan impian dan harapan menuju masa kejayaannya. Sehingga saya rasa perlu adanya muatan materi kesetaraan gender dalam sektor pendidikan yang ada di Indonesia.
Pendidikan Kesetaraan Gender
Coba kita tinjau Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dinyatakan oleh resolusi Majelis Umum 48/104 tanggal 20 Desember 1993 (Declaration on the Elimination of Violence against Woman. Proclaimed by General Assembly Resolution 48/104 of 20 December 1993) dalam rangka mengakui kebutuhan mendesak untuk penerapan universal bagi perempuan atas hak-hak dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kesetaraan, keamanan, kebebasan, integritas dan martabat semua manusia. Resolusi tersebut dalam pasal 1 menyebutkan yang diterjemahkan yakni:
“kekerasan terhadap perempuan berarti setiap tindakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat, kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi”
Meskipun demikian, secara kodrati perempuan merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa dalam menjaga makhluk kecil yang tersimpan dalam kandungannya. Dilain itu, maka kesetaraan gender harus dilaksanakan se-ideal mungkin, karena perempuan mempunyai hak untuk menyuarakan haknya secara merdeka tanpa adanya intervensi dari pihak manapun, perempuan juga harus mempunyai peran besar dalam memajukan peradaban.
Dalam hal ini, maka perlu hadirnya pendidikan menjadi jalan alternatif dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, serta bagaimana dengan pendidikan membentuk kepribadian manusia untuk peka terhadap lingkungan sosial, baik dalam konteks lingkungan keluarga, sosial, maupun masyarakat. Pasalnya dengan jalan pendidikan pula, maka masyarakat mendapatkan pembelajaran yang dapat memberikan kebermanfaat bagi sesama mannusia, serta dapat membangun jiwa dan raga untuk kemaslahatan Indonesia Raya.
Alasan saya mengambil jalan pendidikan sebagai instrument dalam kesetaraan gender, terinspirasi dari salah satu tokoh Pahlawan Nasional, Ki Hajar Dewantara dalam konsep pendidikan dengan memasukkan kebudayaan Indonesia, yang mana kesetaraan gender dapat diterapkan melalui kolaborasi antara laki-laki dan perempuan sejak dini. Misalnya konsep belajar Ki Hajar Dewantara dikenal 3N yakni: nonton (pengetahuan/kognitif), niteni (rasa/afektif), nirokke (keterampilan/psikomotorik).
Oleh karena itu, konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara menjadi teori yang rekomendasi dalam mewujudkan kesetaraan gender, baik dalam lanskap teoritik maupun praktik. Pasalnya hingga saat in, baik laki-laki maupun perempuan sepenuhnya belum memahami konsep ideal tentang kesetaraan gender. Berdasarkan temuan yang saya lihat, perempuan seringkali terjebak dalam konsepsi patriarki dan misogini yang dilakukan oleh laki laki. Begitupun juga perempuan terjebak dalam pragmatism-opportunis yang mengabaikan konstruksi sosial kesetaraan gender, sehingga perempuan mudah terpedaya oleh laki-laki ketika perempuan tersebut tertindas. Contoh pada umumnya, perempuan sering terpincut dengan harta dan kekayaan dengan seorang laki-laki yang bermewah-mewahan.
Begitupun laki-laki dan perempuan jika menjelang masa pernikahan, maka selayaknya perlu juga dibekali tentang pendidikan keluarga dan kesetaraan gender. Bagaimana keduanya dapat membangun hubungan yang sakinah, mawaddah, warahmah tanpa adanya paksaan dan dominasi dari kedua tersebut. Saya mengutip ide dari Guru Besar Ilmu Gender UIN Sunan Kalijaga, Prof. Alimatul Qibtiyah, bahwa membangun sebuah hubungan itu tidak adanya dominasi diantara keduanya, melainkan kolaborasi.
Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, sebelumnya terbit di Proklamator ID, 11 Agustus 2022.
