Persepsi masyarakat secara umum bahwa Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang dikenal sebagai tempat belajar dan mendalami ilmu Agama Islam. Tentunya, bahwa pesantren mempunyai pengakuan secara tradisi yakni mampu menjawab tantangan moralitas dalam pembangunan karakter, baik dalam konteks intelektual, social maupun spiritual. Namun akhir akhir ini dikejutkan dengan fenomena berupa kasus yang menjerat dibeberapa pesantren.
Fenomena yang saat ini sedang viral terjadi di beberapa pesantren yakni kasus seksualitas di beberapa daerah. Beberapa kasus yang terjadi yakni dugaan pimpinan pondok pesantren (ponpes) mencabuli santrinya dengan dalih memijat di Aceh, dugaan pengasuh ponpes perkosa santriwati di Bandung, Anak Kiai Cabuli Santriwati di Jombang secara kooperatif, hingga oknom guru Ponpes diduga Cabuli muridnya di Oku. Sehingga yang dikhawatirkan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat untuk belajar Agama di Pesantren.
Secara tradisi, pada dasarnya ada pepatah ngalap barokah’e kiai .Hal tersebut diyakini oleh santri dalam rangka agar diperlancar dan diberkahi dalam mendalami ilmu di Pesantren. Jika ditelaah secara komprehensif, bahwa mendapatkan barokah kiai karena kesepuhan dan keluhuran ilmu dan adabnya kiai yang diyakini oleh elemen santri maupun masyarakat setempat.
Disisi lain bahwa Kebiasaan santri belajar di Pesantren pada dasarnya adalah mengutamakan adab daripada ilmu. Karena berkahnya ilmu yang didapat oleh santri adalah karena adab/akhlaknya yang baik. Namun hal tersebut jika dipolitisir atau mendistorsikan oleh beberapa oknum yang mengaku sebagai kiai atau ustadz berupaya untuk membujuk agar santrinya nurut. Sehingga kiai dapat memperlakukan semaunya kepada santri yang akan dijadikan sebagai obyek eksploitatif yang bermuatan negatif, salah satunya adalah pelecehan seksual.
Secara prinsip dalam ajaran Islam bahwa sebagai umat manusia tidak boleh melakukan tindakan yakni berzina. Oleh karena itulah yang harus difahami oleh santri/santriwati, pada dasarnya mengutamakan adab itu penting, namun harus dibekali dengan pengetahuan tentang syariat Islam bahwa Zina merupakan salah satu perilaku yang tidak terpuji.
Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, sejumlah 26.973 ponpes tersebar di seluruh provinsi Indonesia, sehingga penting adanya pembekalan dari pemerintah untuk memonitoring lembaga pesantren sekaligus untuk memberikan ruang dialektis konstruktif kepada pesantren. Tidak hanya sekedar belajar tentang agama, melainkan juga belajar tentang nilai-nilai kebangsaan, salah satunya adalah penguatan Nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme Pesantren: Penguatan Kebudayaan
Disisi lain sebagai tempat pembelajaran ilmu Agama, pesantren merupakan salah satu bagian dari produk kebudayaan. Menurut Agus Sunyoto dalam Bukunya ‘Atlas Walisongo’, menyebutkan bahwa Pesantren mempunyai peran yang sangat besar dalam proses Islamisasi yang diwujudkan dalam sistem pendidikan bersifat lokal yang berangkat pada masa Hindu-Buddha di Nusantara.
Proses dakwah tentang Islam oleh Walisongo melalui beberapa tempat maupun padepokan yang disinggahi, sehingga padepokan tersebut dijadikan sebagai tempat mengajarkan ilmu Islam yang dinamakan pesantren. Menurut Herman DM dalam jurnal Al-Ta’dib Sejarah Pesantren di Indonesia, bahwa pesantren terdapat tiga unsure yakni santri, kiai, dan asrama atau pondok.
Proses penyebaran ajaran Islam pada prinsipnya adalah mengajarkan tentang toleransi, perdamaian, menebarkan cinta dan kasih. Tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan visi dan misi Islam. Tentunya menjadi sebuah auto kritik bahwa masih banyaknya pesantren yang masih tidak sesuai dengan visi dan misi Islam pada hakikatnya.
Berzina merupakan salah satu tindakan rusaknya moralitas agama dan jati diri karakter bangsa. Pasalnya di bangsa Indonesia ini pun sudah jelas bahwa tindakan berzina dapat merusak tatanan sosial yang sudah berlaku dimasyarakat. Berzina secara paksa merupakan satu rumpun dari kejahatan seksual seperti perkosaan maupun pencabulan.
Menjadi pendakwah dizaman walisongo bukanlah perkara mudah, pasalnya harus dihadapkan dengan kultur yang berbeda pada ajaran ajaran sebelumnya. Sehingga pendekatan-pendekatan dalam mengajarkan Islam juga didasarkan pada prinsip moralitas yang baik.
Sepatutnya bahwa pentingnya adanya penguatan Nasionalisme Indonesia. Jika merujuk pada Nasionalisme menurut Mahatma Gandhi yakni “My Nationalism is Humanity” yang artinya nasionalisme saya adalah kemanusiaan. Kebudayaan di Indonesia tidak hanya sekedar membahas tentang seni. Melainkan dalam konteks sosial adalah mengedepankan prinsip kemamusiaan. Sehingga pentingnya penanaman Nasionalisme di tubuh Pesantren.
Sehingga, fenomena pengasuh pondok pesantren atau anak kiai mencabuli santrinya merupakan tindakan yang tidak terpuji, sama halnya dengan hewan yang nalarnya sudah tidak aktif, dan bukan makhluk moralitas, menurut amat penulis bahwa pentingnya sinergitas antara masyarakat dan Negara dalam bahu membahu menjaga dan mengawal prinsip tradisi keilmuan dan moralitas di Pesantren sebagai salah satu upaya dalam rangka menanamkan dan mengajarkan pemahaman Islam yang baik dan rahmatan lil alamin.
Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Artikel sebelumnya terbit di Proklamator ID, 07 Februari 2022