Telegrafi – Upaya supremasi hukum yang berjalan di Kabupaten Bojonegoro, tentu dipertanyakan keadilannya, menurut penulis sebagai pegiat hukum di Univesitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya. Hal ini berangkat dari studi kasus antara pihak penambang, PT. Whira Bumi Sejati (PT. WBS) melaporkan tiga orang (bernama Imron, Isbandi, dan Agung) ke kepolisian setempat. Tiga orang tersebut merupakan warga Desa Sumuragung, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro. Sejak informasi yang digali penulis per-tanggal 10/11/2023, tiga orang sebagai terlapor, harus berhadapan dengan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bojonegoro dengan status terdakwa.
Ketiga orang tersebut, diduga ikut campur dalam proses blokade jalan, yang diinisiasi oleh ratusan warga Desa Sumuragung. Inisiasi tersebut merupakan hasil musyawarah mufakat warga setempat, atas penolakan penambangan galian C yang berlokasi di desa tersebut. Beberapa alasan mendasarnya yakni; Pertama, kerusakan lingkungan diarea sekitar tambang. Kedua, tidak adanya transparansi dari stakeholder pemerintahan sebagai penyelenggara negara kepada warga setempat, mengenai proses penyusunan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kemudian, Ketiga, merujuk keputusan Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM/Nomor: B-571/MB.05/DJB/B/2022 tentang penutupan sementara PT. WBS terkait IUP operasi produksi Nomor. 100/1/IUP/PMDN/2021. Keempat, penyalahgunaan hak IUP PT. WBS No. 1235/1/IUP/PMDN/2021, dengan tahapan eksplorasi dimulai tanggal 25 Oktober 2021 hingga 25 Oktober 2024, namun pada kenyataannya PT. WBS melakukan operasi produksi.
Alasan diatas merupakan bentuk penolakan penambangan yang belum clear. Selain itu, motivasi warga setempat melakukan blockade dikarenakan terdapat kerusakan jalan sekaligus potensi debu bertebaran di udara yang mengganggu pernafasan manusia, serta kemarau panjang.
Pada tanggal 12 Oktober 2023 lalu, ratusan warga Desa Sumberagung mendatangi PN Bojonegoro, melakukan aksi unjuk rasa ke PN Bojonegoro, meminta kepada majelis hakim untuk mendapatkan keadilan, agar tiga orang tersebut segera dibebaskan. Bahkan, aksi simbolik tabur batu kapur di tubuhnya merupakan wujud ekspresi warga atas penolakan penambangan yang berpotensi kerusakan lingkungan. Seiring dengan belum adanya transparansi dari pihak operasional penambang.
Dengan harapan bahwa jangan sampai kebobolan perihal kerusakan lingkungan yang dapat merugikan warga setempat. Oleh karena itu, perlu adanya peningkatan kewaspadaan yang dilakukan oleh pemerintah, terkhusus Dirjen Minerba Kementerian ESDM (yang menjabat Plt. Kepala Dirjen Minerba, Bambang Suswantono)
Hingga dalam kurun waktu ini, belum adanya sosialisasi dari lembaga pemerintahan, terkhusus yang mempunyai peranan penting dalam menjaga ekosistem alam, untuk mencegah kerusakan lingkungan. Bahkan, anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kab. Bojonegoro, Lasuri, turut bersuara atas eksplorasi batu kapur yang dapat membahayakan masyarakat Desa Sumuragung. Terutama penambangan berdampak langsung terhadap masyarakat yang berada di ring satu.
Lasuri, sebagai anggota DPRD Kab. Bojonegoro, meminta kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro, yang sebelumnya dijabat oleh Bupati Anna Mu’awanah periode 2018-2023, diganti oleh Adriyanto, sebagai Penjabat (Pj) Bupati Bojonegoro, yang dilantik oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, pada 24 September 2023 di Gedung Negara Grahadi, Surabaya.
Pemkab Bojonegoro melalui Bagian Perekonomian dan Sumber Daya Alam (SDA) serta Dinas Lingkungan Hidup) Kab, Bojonegoro, hadir ditengah masyarakat untuk berdialog, mencari titik temu. Terutama mediasi antara PT. WBS, Pemerintahan Desa Sumuragung dan Warga setempat.
Mempertanyakan Keadilan Hukum
Equality before the law (semua manusia setara di mata hukum) mana setiap orang tunduk pada hukum peradilan yang sama. Sehingga putusan hakim menjadi kunci terpenting dalam sebuah persidangan, apakah status terdakwa ini bersalah (berpotensi terpidana) atau tidak bersalah (dapat dibebaskan) ? tentu disinilah letak keadilan hakim dinantikan.
Studi kasus penambangan di Desa Sumuragung, gugatan yang dilayangkan oleh pihak pelapor, menggunakan dalil Pasal 162 Undang – Undang No.3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Dalam pasal tersebut, menjelaskan setiap orang yang dianggap “merintangi” jalannya aktivitas penambangan, diancam dengan pidana kurungan paling lama setahun dan/atau denda sebesar seratus juta rupiah.
Menurut I Gusti Agung Made Wardana, yang merupakan Dosen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada, berpendapat bahwa pasal 162 disalahgunakan untuk mengintimidasi dan kriminalisasi, serta pembungkaman terhadap aktivis lingkungan hidup yang menolak aktivitas pertambangan yang melanggar.
Hal ini cukup jelas, bahwa Pasal 162 UU Minerba tidak sejalan dengan PERMA Nomor 1 Tahun 2023 yang baru dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, mengacu pada pasal 48 tentang perlindungan hukum bagi pejuang hak atas lingkungan beserta kriterianya yang sejalan dengan pasal 66 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), menjelaskan bahwa orang yang memperjuangkan lingkungan hidup baik dan sehat tidak dapat dipidanakan.
Selain itu, Pasal 78 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup yang menjelaskan bahwa bentuk perjuangan hak atau peran serta masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat meliputi penyampaian usulan atau keberatan baik secara lisan ataupun tulisan baik didepan umum atau aksi unjuk rasa.
Penutup
Berdasarkan tinjauan hukum yang berkeadilan, seyogyanya bahwa kegiatan tambang harus melibatkan berbagai macam stakeholder (baik itu pemerintah, Perusahaan tambang, maupun warga sipil) untuk merumuskan agar konflik tidak berkepanjangan serta dapat melaksanakan UU PPLH.
Merujuk pada pemikiran Sonny Keraf, dalam bukunya Etika Lingkungan Hidup, prinsip-prinsip dalam Etika Lingkungan yakni; 1) sikap hormat terhadap alam (respect for nature); 2) prinsip tanggungjawab (moral responsibility for nature); 3) Solidaritas kosmis (cosmic solidarity); 4) prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature); 5) Prinsip tidak merugikan (no harm); 6) Prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam; 7) Prinsip keadilan; 8) Prinsip demokrasi; 9) Prinsip integritas moral.
Oleh: Muhammad Azzam Fawwaz, Pegiat Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Kader GmnI UINSA