Telegrafi – Myanmar kembali ke titik nol dalam perjalanan demokrasinya. Dini hari 1 Februari lalu, militer mengambil alih kekuasaan. Sungguh ironis. Di hari yang mestinya anggota parlemen–salah satu pilar demokrasi–dilantik, dunia menyaksikan tindakan elite militer yang justru bertentangan diametral dengan prinsip demokrasi: kudeta. Pagi itu, militer menahan Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, presiden dan tokoh-tokoh politik penting. Alasan kudeta, Pemilu November 2020 yang dimenangi NLD (National League for Democracy),
partai Suu Kyi, dianggap penuh kecurangan.
Dunia tersentak. Baru saja Myanmar menapak tertatih-tatih di jalan demokrasi, langkah itu kini terjegal nafsu kuasa militer. Meski rakyat memprotes dengan turun ke jalan, penguasa militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing tetap kukuh dengan keputusannya: pemerintahan di tangan militer selama 1 tahun sampai pemilu tahun depan.
Tiongkok dan Rusia
Sepintas banyak yang menilai kudeta itu hanya percikan dinamika politik dalam negeri Myanmar. Maklumlah, politik domestik Myanmar pekat diwarnai pergulatan kepentingan antara sipil dan militer. Namun, ada satu hal menarik. Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi dan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu berkunjung ke
Myanmar hanya beberapa hari sebelum kudeta. Fakta ini membuka ruang spekulasi tak sederhana. Pengamat menengarai kunjungan itu berkait-kelindan dengan politik luar negeri Myanmar. Bagaimana membaca kudeta itu dalam perspektif hubungan politik luar negeri Myanmar?
Tragedi kudeta kali ini bukan sekadar pertarungan antara sipil dan militer. Lebih serius, kudeta itu mempertontonkan tarik-menarik di antara dua kekuatan: prodemokrasi dan otoritarianisme. Dua arus besar aspirasi politik dalam negeri itu merupakan derivasi dari hubungan politik luar negeri Myanmar dengan AS dan Tiongkok. Dengan pengaruh dua negera besar ini, pergulatan politik domestik Myanmar seolah terjepit di antara dua karang: prodemokrasi yang didukung oleh AS dan Barat versus otoritarianisme yang didukung Tiongkok.
Sejarah politik Myanmar memang tak pernah jauh dari trauma kudeta dan pemerintahan represif junta militer. Dalam persepsi AS dan Barat, Myanmar sudah membuka diri terhadap perubahan, bertransformasi menuju demokrasi sejak 2010.
Semua trauma politik otoritarianisme seolah berakhir ketika negara itu mengadakan pemilu pada 2010 disusul dengan pemilu pada 2015 dan 2020.
Penyelenggaraan pemilu, yang disusul dengan pembebasan Suu Kyi dari tahanan rumah dan pembubaran pemerintahan junta militer pada 2011, berbuah manis. AS dan negara Barat lainnya mencabut sanksi ekonomi atas Myanmar tahun berikutnya. Banyak pihak berharap, dengan dicabutnya sanksi ekonomi, Myanmar masuk ke dalam pergaulan internasional dan memetik manfaat dari ekonomi mainstream dunia.
Sekilas ada kesan, dengan serangkaian reformasi politik yang dilakukan sejak 2010, Mynamar sudah berada pada jalur demokratisasi yang benar. Ternyata belum sepenuhnya. Pemerintahan boleh saja dipegang oleh sipil, tapi militer tetap dominan dalam kehidupan politik. Militer memiliki 25% suara di parlemen, dan berhak menunjuk menteri-menteri jabatan kunci, juga menyatakan keadaan darurat.
Dengan suara 25%, militer bisa memveto perubahan konstitusi yang harus disetujui oleh 75% suara parlemen. Militer merasa cukup nyaman dengan kekuatan suara 25% di parlemen. Akan tetapi, dengan hasil Pemilu 2020 yang dimenangi oleh NLD lebih dari 80%, kedudukan politik milter terancam. Maka terjadilah kudeta.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa militer nekat melakukan kudeta? Dalam konteks politik domestik boleh jadi elite militer tak ingin kehilangan kuasa politik dan kepentingan bisnis mereka tergerus jika sipil berkuasa.
Sudah menjadi rahasia umum, NDL dan Suu Kyi sudah tak sabar ingin mengubah konstitusi yang menguntungkan posisi politik militer. Tapi dalam perspektif politik luar negeri, militer punya kalkulasi politik perimbangan dalam hubungan luar negerinya. Seturut pandangan Stephen M Walt (Foreign Policy, 4 Februari 2021), hubungan baik dengan AS dan Barat akan menjadi semacam ‘perisai’ dari ketergantungan Myanmar terhadap Tiongkok. Dalam konteks inilah, keputusan untuk membentuk pemerintahan sipil dan pembubaran junta militer pada 2010-2011 dimaksudkan untuk menggeser bandul politik luar negeri lebih ke Barat.
Pergeseran bandul politik luar negeri yang cenderung ke Barat ini dilakukan karena militer sadar bahwa ketergantungan yang berlebihan kepada Tiongkok–akibat sanksi ekonomi AS dan Barat–akan membuat politik luar negeri Myanmar tidak mandiri. Tapi sebaliknya, terlalu mengikuti langgam prodemokrasi AS dan Barat dalam transformasi politik dalam negeri akan berisiko dalam dominasi politik dan bisnis militer.
Di sinilah militer melihat perlunya memainkan kartu Tiongkok untuk mendukung kudeta. Tiongkok memang memiliki kepentingan strategis di Myanmar. Tidak saja dalam hal ekonomi dan bisnis, tetapi juga dalam konteks strategi geopolitik. Selama didera sanksi ekonomi, secara ekonomi Myanmar sangat bergantung pada Tiongkok, baik di bidang investasi maupun perdagangan. Bagi Tiongkok, Myanmar sangat strategis untuk akses ke Samudra Hindia. Untuk mendukung strategi geopolitik ini Tiongkok menggelontorkan uangnya untuk proyek pelabuhan laut, rel kereta api, pipa minyak dan gas dari Provinsi Yunan ke Mandalay terus tersambung ke kota pelabuhan Kyaukpyu yang menghadap Teluk Bengali, India.
Dua Karang
Dalam amatan Sebastian Strangio, jika pascakudeta AS dan Barat menunjukkan sikap frontal dengan mengenakan sanksi ekonomi lagi, itu hanya akan melempar Myanmar jatuh lebih dalam lagi ke pelukan Tiongkok (Foreign Affairs, 2 Februari 2021). Indikasi dukungan politik Tiongkok kepada Myanmar secara tersirat terasa ketika Dewan Keamanan PBB (DK PBB) mengeluarkan pernyataan resminya. DK PBB yang diketuai oleh Inggris mulanya ingin menggunakan bahasa yang tegas mengutuk kudeta. Tapi karena pengaruh Tiongkok dan Rusia yang memiliki hak veto, bahasa yang digunakan DK PBB sangat lunak dan normatif. Tidak ada kata ‘mengutuk kudeta’, strongly condemn. Bahasa yang digunakan hanya ‘keprihatinan mendalam’, deep concern. Tak ditemukan kata ‘kudeta’ di pernyataan resmi itu, hanya state of emergency, keadaan darurat.
Dalam fatsun diplomatik, beda satu kata berjuta makna. Dari bahasa yang digunakan dalam pernyataan resmi itu terlihat jelas bahwa Tiongkok, dan juga Rusia, secara diplomatik ingin menunjukkan dukungan politik mereka terhadap milter yang melakukan kudeta.
Dalam perspektif hubungan politik luar negeri, kudeta Myanmar bukan sekadar pertarungan politik kepentingan antara sipil dan militer yang telah berlangsung puluhan tahun. Kudeta itu membentangkan lanskap politik domestik Myanmar yang diwarnai oleh pertarungan dua ideologi politik dunia.
Sejarah telah menyaksikan betapa Myanmar terjepit di antara dua karang besar ideologi dunia: prodemokrasi versus otoritarianisme. Myanmar seolah terjepit di antara dua karang kepentingan AS dan Barat versus Tiongkok. Tinggal kini elite militer dan sipil negara itu pandai-pandai meniti buih, bijak dalam mengayuh di antara dua karang, agar hubungan politik luar negerinya dengan kedua karang besar dunia itu memberi maslahat bagi rakyatnya.
Oleh: Darmansjah Djumala Diplomat bertugas di Wina, Austria dan PBB, Dosen S-3 Hubungan Internasional FISIP Unpad, Bandung