TELEGRAFI
Joko Widodo dan Anies Baswedan

Telegrafi – Mungkin ada banyak perbedaan antara keduanya. Gaya bicaranya, blusukannya, taktik melobinya, politik identitasnya dan tentu saja capaian kinerjanya. Sebagai sarjana, keduanya lulusan dari universitas yang sama, UGM; keduanya juga punya klaim sebagai orang yang terbebas dari leletan Orde-Baru dan berhak mengatakan tidak punya sambungan dengan agenda Orde-Baru. Tapi belakangan ini mencuat persamaan yang mencolok mata. Argumentasi keduanya sama ketika ditanya apa penyebab banjir: curah hujan yang tinggi.
Persamaan yang kelihatan “trivial” dan tampak sepele ini, dan banyak orang yang kemudian melupakannya, sesungguhnya memantulkan sebuah masalah yang berakar dalam. Argumentasi penyebab banjir adalah curah hujan yang tinggi, baik dari Jokowi maupun Anies Baswedan, tidak saja memperlihatkan cara berkilah yang jauh dari cerdas namun yang lebih penting menunjukkan adanya keengganan untuk mengakui kegagalan dan ketidakberanian untuk menyatakan bahwa di balik banjir itu ada persoalan serius menyangkut paradigma pembangunan yang secara struktural salah.
Dalam kaitan ini, klaim keduanya bahwa mereka tidak keleletan Orde-Baru dan apa yang dikerjakan bukan “bablasan” Orde-Baru merupakan dalih berkilah yang lemah dasarnya. Mereka, dalam istilah sahabat saya Mochtar Pabottingi cuma “bablasan” Orde-Baru, artinya sekedar penerus agenda atau proyek Orde-Baru. Apa itu proyek Orde-Baru?
Saya berpendapat bahwa 50 tahun pembangunan pasca 1965 telah menghasilkan berbagai bias dan mitos yang pada intinya justru semakin menjauhkan dari cita-cita kemerdekaan yaitu tercapainya keadilan dan kemakmuran bagi mayoritas warga bangsa Indonesia. Bukti-bukti statistik menunjukkan dengan gamblang bahwa ketidakadilan sosial semakin menganga karena kekayaan hanya digenggam oleh segelintir orang sementara mayoritas warga bangsa masih hidup dalam keterbatasan pangan dan papan.
Pengerukan kekayaan alam Indonesia yang dimulai ketika dengan alasan tidak punya uang, para pemimpin Orde-Baru pasca kejatuhan Sukarno, tanpa malu telah meminta-minta ke negara-negara barat dan para pemimpin perusahaan multinasional untuk memberikan utangan kepada Indonesia yang dianggap telah bangkrut. Inilah sebuah periode ketika ekonomi Indonesia oleh para ekonom barat dan para teknokrat bangsa sendiri dinilai berada pada titik nadir. Gambaran tentang buruknya ekonomi Indonesia itu secara grafis ditunjukkan dengan angka inflasi yang mencapai 600 persen, sebuah “magic number” yang sampai hari ini sesungguhnya tidak pernah terverifikasi.
Sebuah jalan pintas dalam tikungan sejarah bangsa Indonesia yang terbukti menentukan apa yang kemudian terjadi hingga hari ini pada momen sejarah itu diputuskan. Melalui UU Penanaman Modal Asing yang disusun atas bantuan konsultan dan staf kantor kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta menjadi awal dikeruknya kekayaan alam Indonesia sampai ludes hingga hari ini. Widjojo Nitisastro dan tim ekonom-teknokratnya mungkin bisa dianggap telah berjasa dalam membangun ekonomi Indonesia dan mengangkat jutaan orang miskin menjadi hidup lebih baik, namun dilihat dari situasi hari ini, apakah bangsa Indonesia menjadi lebih adil dan sejahtera seperti dijanjikan oleh proklamasi kemerdekaan?
Almarhum Gunawan Wiradi seorang intelektual yang mengalami kehidupan di berbagai zaman peralihan antara masa Sukarno, masa Suharto dan masa reformasi; mengungkapkan secara plastis bagaimana kerisauannya yang mendalam tentang nasib lingkungan yang rusak akibat industri ekstraktif yang sangat ganas mengeruk kekayaan alam Indonesia, “pada zaman Sukarno tidak ada sebatang pohon pun ditebang” ujarnya sambil tersenyum sinis. Bagi yang tertarik untuk mengetahui secara rinci bagaimana rombongan pemimpin Orde Baru melakukan kunjungan ke negara-negara barat untuk mencari utang, dan bagaimana proses penyusunan UU Penanaman Modal Asing dibuat, bisa membaca buku “Power in Motion: Capital in Mobility and the Indonesian state”, 1996, karya Jeffrey Winters.
Pencarian utang dan diundangnya modal asing yang berlangsung setelah jatuhnya Sukarno itu ironisnya terjadi bersamaan dengan pembunuhan massal anggota PKI, orang-orang yang dianggap PKI, para Sukarnois; penahanan dan pemenjaraan serta pembuangan mereka yang masih hidup, antara lain ke pulau Buru. Sejarah kelam bangsa Indonesia ini harus diingat kembali sebagai pelajaran yang sangat penting jika tidak ingin mengulangnya di masa depan. “Learning the hard way”, kata orang, untuk mendewasakan diri. Berbagai buku tentang peristiwa sejarah yang penting ini sudah bisa dibaca oleh generasi muda dan biarkanlah generasi muda ini menilai sendiri dengan hati nurani dan mataharinya apa yang telah menjadi bagian penting dari sejarah bangsanya.
Ketika di dalam negeri sendiri peristiwa sejarah kelam ini tidak dapat dibaca dengan kepala dingin karena masih mudahnya emosi disulut oleh mereka yang masih ingin menangguk keuntungan ekonomi dan politik dari peristiwa ini, jangan heran jika tulisan-tulisan dengan penelitian yang baik masih dihasilkan oleh pengamat-pengamat asing. Buku “Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965–1966 in Indonesia, 2020, karya John Rossa, adalah salah satu contohnya.
Jokowi sebagai presiden Republik Indonesia dan Anies Baswedan sebagai gubernur Jakarta ketika berkilah bahwa penyebab banjir adalah curah hujan yang tinggi sedang melupakan sejarah panjang negerinya yang selama 50 tahun telah dibangun tanpa memperdulikan lingkungan alam. Indonesia hingga hari ini masih tumbuh ekonominya bukan karena manusianya yang menjadi lebih produktif namun karena masih diteruskannya ekonomi ekstraktif dengan mengeruk habis-habisan kekayaan alamnya.
Banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana alam lainnya memiliki hubungan langsung dengan kerusakan lingkungan yang telah berlangsung selama lebih dari 5O tahun ini dan tidak ada tanda-tanda akan dihentikan. Bukti-bukti empiris sudah menunjukkan kalau pulau Jawa mulai tenggelam ke lautan, pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi sudah gundul hutan tropisnya, dan hampir pasti Papua akan menyusul. Bencana ekologis yang semakin nyata ini ternyata masih dipungkiri oleh para pemimpin resmi negeri ini. Dalam konteks ini Jokowi dan Anies Baswedan tidak ada bedanya: banjir karena curah hujan yang tinggi.
Oleh: Prof. Dr. Riwanto Tirtosudarmo, Peneliti Independent dan Akdemisi
