Telegrafi, Hoax, gosip, dan ujaran kebencian kini telah menemukan wujud nyata yang menimbulkan korban berkaitan dengan kekerasan SARA. Minggu (11/02/2018) seseorang merangsek masuk ke dalam gereja saat ibadah sedang berlangsung di kawasan Gamping, Sleman. Insiden itu melukai seorang padri dan beberapa umat yang sedang menjalankan ibadah.

Tidak ada yang kebetulan. Peristiwa kekerasan itu, sebelumnya, didahului ujaran kebencian yang berlangsung massif dan cukup lama lewat sosial media. Para motivator agung seperti Dale Carnegie, Napoleon Hill, John Maxwell, dan Stephen Richard Covey merupakan guru perihal cara paling efektif mempengaruhi manusia. Kendati demikian, pada akhirnya, orang-orang dungu dan pandir yang justru sukses mempengaruhi khalayak lewat hoaks, gosip, dan ujaran kebencian.

Merasa Pintar

Menurut cyberpsycologist Mary Aiken, penulis buku The Cyber Effect (2016), banyak di antara netizen (warganet) reaktif menyebarluaskan berita-berita negatif karena punya self-concept dengan menjadi penyebar pertama kali merasa dirinya lebih pintar ketimbang orang lain. Para penyebar hoaks cenderung judgemental.

Wawasan mereka cupet tapi merasa paling benar. Mereka manusia kurang gaul yang senantiasa menempatkan diri sebagai korban. Terasa ada aroma ‘sakit jiwa’ di balik opini-opini negatif yang mereka sebarluaskan. Asal main copas hanya dengan melihat judul. Ingin cepat-cepat dinilai paling pandai. Padahal itu kebodohan besar.

Konten media sosial bentuknya sangat kaya. Kicauan di Twitter tentang gempa bumi. Foto, meme, dan video di Instagram. Curhat terbuka di Face Book. Info grafik di Tumblr. Petisi di Change.org. Jumlah akun aktif pengguna Facebook 1, 968 miliar. WhatApp 1, 2 miliar. YouTube 1 miliar. Facebook Messenger 1 miliar. Instagram 600 juta. Tumblr 550 juta. Twitter 319 juta. Besarnya jumlah pengguna aktif menggambarkan betapa dahsyat situs jejaring sosial dalam membentuk sikap konstruktif maupun destruktif. Keragaman konten itu bisa mendatangkan manfaat sekaligus mudarat bagi warganet.

Facebook pada 2016 dinobatkan Reuters sebagai situs jejaring sosial paling penting bagi nitizen untuk menemukan, membaca, menonton, dan berbagi berita. Semakin banyak khalayak muda yang tidak aktif lagi mencari berita. Mereka hanya membaca berita yang dibagikan temannya di Facebook dan Twitter. Etika dan verifikasi berita merupakan kunci sukses bersosial media.

Etika merupakan kompas moral dalam menghadapi situasi abuabu dan dilema akibat situasi itu. Bisa dikatakan kabar muslihat yang berisi fitnah dan ujaran kebencian melanggar prinsip penulisan dan penyebaran berita. Kegiatan jurnalisme, tanpa kecuali jurnalisme warga (citizen journalism), melalui situs jejaring sosial merupakan aktivitas verifikasi. Akurasi dan fakta yang relevan harus dikedepankan.

Persoalannya bukan lagi banyaknya surat kabar berbasis kertas yang bangkrut melainkan jurnalistik yang terancam. Runtuhnya media berbasis kertas idealis digantikan media industri dan sosmed dengan berita tanpa verifikasi sangat mengancam masyarakat akan hak informasi yang benar.

Etika Sosial

Verifikasi memastikan informasi yang akan disebarkan benar dan akurat. “Journalism is a business of verification,” ujar E Wendratama, dalam buku Jurnalisme Online (2017). Jurnalisme warga tetap harus menjunjung tinggi idealisme: kebenaran, keadilan, akuntabilitas, dan kemanusiaan. Salah satu aturan dalam penyebaran berita di jejaring sosial adalah maximize truth, minimize harm. Siapapun yang mengunggah berita harus memastikan tindakannya selalu memaksimalkan pencarian kebenaran dan meminimalkan dampak kerugiannya bagi orang lain.

Etika sosial media identik komitmen melakukan hal-hal benar ketika kemungkinan melakukan kesalahan lebih besar. Warganet yang melek etika mestinya memilih melakukan yang lebih dari yang disyaratkan hukum ketimbang yang kurang dari yang diperbolehkan hukum. Warganet Indonesia harus lebih dewasa dalam cyberworld.

Jaga mulut saat bicara di dunia nyata. Jaga tangan supaya tidak sembarangan copas di dunia maya. Sumber kekerasan bernuansa SARAdi dunia nyata dipicu oleh ujaran kebencian di dunia maya. Itulah bahaya bila hoaks dan ujaran kebencian yang jelas-jelas salahkaprah tapi diterima sebagai kebenaran.


Oleh : J Sumardianta. Penulis buku ‘Mendidik Pemenang Bukan Pecundang’. Photo : Andrey Gromico