TELEGRAFI
Mengapa PDIP Bilang PSI Arogan? Apakah Interpelasi itu Menyeramkan?

Telegrafi – Heran, apa sih yang ditakutkan dengan interpelasi?
Itu khan – cuma – hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. (Penjelasan Pasal 27A, UU no 22 tahun 2003).
Cuma minta keterangan resmi! Lha kok parpol (fraksi) lain pada gemetaran. Sementara Gubernur yang mau diinterpelasi (ditanyain) malah anteng-anteng saja tuh! Ada apa sih?
Bahkan sampai-sampai Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta dicap arogan. Hadeuuh… apa lagi ini sih?
Adalah Gilbert Simanjuntak, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDIP yang bilang begitu, “PSI itu kita lihat arogan, kurang rendah hati, khususnya dalam berkomunikasi.”
Lalu M.Taufik, dari Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta (dari Partai Gerindra) malah menertawakan,”Haha bagaimana mau interpelasi, silakan saja siapa yang mau nyambut?” Ia malah meragukan akan ada fraksi lain yang mau mendukung, mengingat akhir tahun lalu PSI sendiri pernah ditinggal walk-out di ruang rapat paripurna lantaran membongkar skandal kenaikan tunjangan jumbo yang sempat heboh.
Kesannya, kedua orang ini (Gilbert Simanjuntak dan M.Taufik) cuma ngambek kepada fraksi PSI.
Sehingga pertanyaannya, sebetulnya apa esensi kritik mereka terhadap inisiatif interpelasi yang diajukan PSI itu?
Apakah hanya lantaran dianggapnya komunikasi politik PSI itu “kurang sowan” ke fraksi lain lalu esensi dari interpelasi itu dinafikan?
Betulkah PSI “kurang sowan” dalam komunikasi politiknya dengan fraksi lain? Ah, yang benar saja.
Apakah ngambek lantaran rencana kenaikan tunjangan jumbo itu dibongkar PSI sehingga batal?
Bukankah itu semua (dendam dan ngambek) sebetulnya sikap yang – maaf ya – sangat kekanak-kanakan, childish!
Masak sih anggota parlemen yang terhormat bisa ngambekan begitu? Dan lantaran dendam dan ngambek lalu tidak mau memperjuangkan lagi amanat penderitaan rakyat lewat interpelasi yang – sekali lagi – hanya bertanya secara resmi.
Bertanya secara resmi kepada Gubernur sebagai institusi yang bertanggungjawab terhadap program penanggulangan banjir yang permanen.
Bukankah waktu itu Ketua Fraksi PDIP Gembong Warsono sendiri yang bilang bahwa selama tiga tahun ini Anies tidak bikin apa-apa untuk menanggulangi banjir secara permanen?
Interpelasi itu bukan pemakzulan, atau impeachment. Cuma bertanya kok, kenapa itu semua bisa terjadi?
Bertanya juga misalnya kenapa setelah menjabat selama 3,5 tahun, namun justru mendorong revisi RPJMD untuk menghapus normalisasi dari RPJMD?
Memang sih, kalau pertanyaan resmi via mekanisme interpelasi itu maka Gubernur mesti mempertanggungjawabkan segala sesuatunya secara rinci dan terbuka.
Semua yang terkait dengan rencana program serta kerja nyata apa yang sudah dilakukannya dalam mengatasi banjir di ibu kota mesti dipaparkan.
Termasuk soal pertanggungjawaban anggaran (duit) yang sudah dan akan dipakai. Hmm…
Sekali lagi ya, termasuk soal pertanggungjawaban anggaran (duit) yang sudah dan akan dipakai. Kemana saja duit itu mengalir, misalnya.
Apakah subyek pembahasan yang mesti dipaparkan secara terbuka seperti ini yang dikhawatirkan?
Lalu, kenapa yang khawatir malah parpol (atau fraksi) di DPRD DKI Jakarta?
Masak sih kita mesti meng-interpelasi (bertanya) kepada rumput yang bergoyang?
Oleh: Andre Vincent Wenas, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).
