Telegrafi – Tanpa terasa 7 tahun Gus Dur telah meninggalkan kita. Rasanya seperti baru kemarin, kita melihat cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asyíari itu berada di barisan depan dalam memperjuangkan keadilan, membela nasib orangorang yang telantar dan menjadi pahlawan dalam membumikan nilai-nilai kemanusiaan universal. Begitu lekatnya sumbangsih Gus Dur bagi kemanusiaan dalam memori kita. Sehingga kita selalu mengenangnya dan merindukan.

Mengenang Gus Dur berarti merindukan perjuangan-perjuangannya dalam menegakkan perdamaian. Spirit inilah yang sangat dibutuhkan kita hari ini. Sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras, tentu saja kita harus belajar kepada Gus Dur. Dalam buku Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2003) yang ditulis Greg Barton dijelaskan bagaimana Gus Dur memperjuangkan nasib kaum minoritas yang ditindas. Juga perhatiannya yang besar terhadap masa depan umat manusia. Lewat media organisasi keagamaan (NU) dan jalur politik (PKB), Gus Dur sebenarnya menebarkan perdamaian. Dan itu dilakukan Gus Dur hingga akhir hayatnya.

Damai di Tengah Perbedaan

Bagi Gus Dur, perbedaan adalah bagian dari rencana besar Tuhan untuk menguji setiap umat manusia apakah mereka sanggup memaknai esensi di balik adanya perbedaan atau pluralitas itu sendiri. Mengingkari pluralitas, dalam berbagai bentuknya, sama halnya dengan mengingkari eksistensi Tuhan. Gus Dur, melalui ide-idenya yang segar, memberikan cara pandang yang luas tentang bagaimana menghargai perbedaan.

Karena itu, fenomena keberagamaan yang keruh dan menyulut terjadinya konflik horizontal sepanjang sejarah umat manusia, dan bahkan masih terjadi hingga kini, adalah implikasi dari cara pandang yang parsial terhadap hakikat pluralitas sebagaimana yang diajarkan Tuhan kepada nabi-nabi-Nya. Agama dipahami sebagai instrumen teologis yang dalam waktu bersamaan mengakui ke-esa-an Tuhan sekaligus mengingkari sunnah-Nya. Sehingga, kelompok-kelompok agama yang berbeda dianggap sebagai the other yang pantas dimusuhi, atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi.

Mengakui ke-esa-an Tuhan dan kemahamutlakan-Nya berarti harus bersiap sedia menerima segala bentuk perbedaan yang terjadi. Itulah yang diajarkan Gus Dur. Menolak keanekaragaman dan menginginkan keseragaman adalah bagian dari penentangan terhadap ketentuanNya. Pola pikir semacam ini masih menguat pada setiap penganut agama. Sehingga, tak pelak cara pandang semacam itu melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang parsial. Bahkan, ayatayat Tuhan yang bertebaran dijadikan justifikasi untuk membenarkan bahwa (hanya) keyakinan kelompoknyalah yang sah dan layak bereksistensi.

Fanatisme keberagamaan, dalam batas-batas tertentu, memang harus dikobarkan. Sejauh hal itu menjadi pelecut dalam meningkatkan keyakinan (iman). Namun demikian, yang berbahaya adalah ketika cara pandang keberagamaan menjelma fanatisme buta, di mana perbedaan dianggap sebagai  ‘racun’ yang dapat meredupkan ajaran Tuhan.

Dalam konteks inilah kita mesti memahami bahwa pluralitas itu adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, kita harus berupaya untuk memaknainya dengan jernih dan bijak sebagaimana diajarkan Gus Dur, bahwa ada nilai-nilai esensial di balik keanekaragaman itu sendiri.

Hakikat Keberagamaan

Hakikat keberagamaan adalah cinta. Setiap nabi yang diturunkan ke muka bumi, dengan membawa kitabnya masing-masing, adalah untuk menebarkan kesejukan yang tidak lain adalah cinta itu sendiri. Fondasi keberagamaan yang tidak dibangun di atas cinta akan mengalami keretakan dan berpotensi menimbulkan klaim-klaim subjektif.

Beragama dengan cinta berarti dengan sepenuh hati berkomitmen menebarkan nilainilai kemanusiaan universal. Mencintai berarti lebih dari sekadar peduli. Cinta itu adalah hakikat keberagamaan yang di dalamnya tidak ada tendensi apa pun kecuali hanya mengabdi kepada Tuhan dengan cara memuliakan saudara-saudara sesama umat manusia, menghargainya, dan menyayanginya dengan penuh cinta.

Itulah yang diperjuangkan Gus Dur sepanjang hidupnya. Semoga kita bisa hidup damai, tenteram dan saling menghormati di tengah perbedaan.

Oleh : A Yusrianto Elga. Penasihat PPMahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta. | Photo : Dok/Ist. Photo