Telegrafi – Bisnis informasi bohong, tentu hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Tak terbayangkan, bagaimana bisa sebuah berita palsu justru mampu mengeruk duit ratusan juta rupiah. Entah konten yang dibuat mirip asli itu berhasil mengacau atau gagal, namun terbongkarnya sindikat hoaks Saracen menyadarkan betapa informasi palsu atau fake news ternyata ada, dan sangat jahat tujuannya. Karena bisa berdampak memecah belah bangsa.
Teknologi telah membuat bukan hanya teks yang disulap. Tetapi video dan gambar bisa dimanipulasi seolah-olah menjadi benar. Lihatlah video Trump menari iringan dangdut koplo, lenggat-lenggut, seperti beneran. Manipulasi video dibuat dengan teknologi tinggi.
Bisa dibayangkan dampaknya, ketika Indonesia memasuki tahun politik. Tahun penuh intrik untuk saling menjegal bukan hanya lawan. Kawan pun bisa disikat untuk memenuhi syahwat politiknya.
Media sosial, sebenarnya punya karakter mampu menghimpun satu suara dalam kelompok, akan mudah membakar dengan berita palsu atau hoaks. Apalagi ketika publik enggan melakukan verifikasi, sementara media massa justru ngompori.
Siapa yang paling menderita atas hoaks atau fake news’ ini? tentu jurnalisme. Sebab sesuai kode etiknya, jurnalisme punya tugas untuk menyusun, kemudian menyiarkan fakta dengan sebenar-benarnya. Karenanya, tantangan paling besar adalah bagaimana jurnalisme mampu melawan produk palsu tersebut. Menjaga publik agar tidak teracuni informasi sampah tersebut.
Saat media baru ini merebak, maka tantangan terberat adalah bagaimana bisa memberikan pencerahan kepada publik, di tengah pengaruh media sosial yang makin meriah. Pers tentu bukan bagian sebuah persoalan, namun pers harus memberi makna, ada apa di balik sebuah peristiwa itu terjadi. Kewajiban untuk mengurai sebuah fakta, bukan hanya sekadar informasi adalah hakikat jurnalisme itu sendiri.
Karenanya, ketika insan pers nasional hari ini memperingati Hari Pers Nasional yang dipusatkan di Padang Sumatera Barat, punya kewajiban menyatukan tekad untuk mengembalikan marwah jurnalisme yang bermutu. Di tengah gempuran media sosial yang minim verifikasi, kehadiran Pers yang bermutu sangat diperlukan.
Maraknya media online, makin membawa banjirnya informasi memenuhi ruang publik. Disinilah tantangan jurnalisme saat ini untuk tidak terjebak pada lapisan fakta yang mungkin sarat distorsi makna. Bukan bersadar pada kacamata kuda yang hanya melihat satu arah, tetapi dalam teks yang bisa jadi hanya sensasi saja.
George Lakoff dalam buku The Poltical Mind menuliskan, betapa orang gampang terbakar isu pada sebuah angan-angan, sebuah paparan reflektif yang hanya sekadar menjual gelembung harapan, dan itu menjadi wajar dalam dunia politik. Tetapi bukan pada bagaimana program itu disusun secara masuk akal untuk bisa terlaksana. Dalam marketing politik, gelembung-gelembung inilah yang dijual yang diolah, diperlebar dalam dunia maya.
Adalah tugas jurnalisme bagaimana bisa mengupas secara kritis supaya gelembung besar tersebut benar, bukan sekadar utopia jargon kampanye politik yang memenuhi ruang hampa.
Ditengah serbuan media sosial, bagaimanakah posisi media cetak di tanah air? Survei Nielsen Consumer and Media View di akhir 2017 mengungkap, ternyata 56% warga yang disurvei masih percaya membawa berita di media cetak, ketimbang media lainnya, apalagi media sosial. Hanya 24% respondennya yang membaca informasi di media sosial. Hal ini diperkuat juga dengan laporan hasil survei ‘Bias, Bullshit and Lies Audience Perspectives on Low Trust in The Media’ yang mengatakan, masyarakat mulai dengan keraguan tinggi ketika membaca informasi dari media sosial.
Karenanya Hari Pers Nasional tahun ini, harus bisa membaca keinginan masyarakat di tengah arus teknologi dunia internet. Dimana para responden sudah jenuh dan muak pada media sosial. Karena itu, momentum ini harus dijaga. Kepercayaan publik kepada media arus utama harus mampu menjaganya. Dengan apa? dengan menaati segala yang berkait akurasi informasi yang diberikan.
Tantangan bagi media massa arus utama semakin tidak ringan. Bukan hanya soal menurunnya minat baca dan nonton televisi di kalangan generasi milenial saja. Tetapi media harus mampu bertempur. Berperang melawan informasi yang tak akurat, tetapi sengaja untuk kepentingan sesaat dan sektoral saja. Dirgahayu Hari Pers Nasional 2018.