Telegrafi – 25 November diperingati sebagai International Day for The Elimination of Violence Againts Women (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional) sudah berlalu, tradisi intelektual maupun ruang-ruang diskursus tak boleh henti. Pasalnya, fenomena kekerasan terhadap Perempuan rentan terjadi. Sehingga topik yang penulis angkat merupakan salah satu masalah krusial, dengan harapan penulis ada upaya preventif dari semua stakeholder (baik pemerintah maupun masyarakat sipil), demi terciptanya ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan dalam menjalankan segala aktivitasnya.
Dalam catatan tahunan 2023 Komnas Perempuan, sejumlah 339.782 total pengaduan merupakan kekerasan berbasis gender. Sedangkan yang diadukan oleh Komnas Perempuan sejumlah 3.442 aduan. Indonesia yang mempunyai dasar negara Pancasila, diharapkan dapat diterjemahkan oleh segenap elemen bangsa Indonesia, sekurang-kurangnya kesadaran dalam masyarakat mengenai kekerasan terhadap Perempuan dapat diberantas. Selain itu, Perempuan berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk yang dapat merugikan Perempuan.
Tahun 2022, Komnas Perempuan merilis data kekerasan terhadap Perempuan sebanyak 457.896 kasus. Sejauh penelurusan penulis, kasus didominasi kekerasan yang dilakukan oleh remaja dengan 713 kasus atau mencapai 34 persen. Disusul dengan kekerasan pada rumah tangga dengan 622 kasus atau 30 persen. Tingginya kasus kekerasan dilatar belakangi oleh fenomena peningkatan interaksi perempuan dengan menggunakan media online yang menyebabkan mereka rentan mengalami kekerasan.
Studi Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
Dewasa ini banyak kita jumpai akan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Kekerasan tersebut tidak hanya dilakukan secara verbal tapi juga dilakukan secara non-verbal. Kasus terbaru yaitu adanya seorang laki-laki di Tasikmalaya yang membunuh pacarnya karena tengah hamil dan tidak mau menggugurkan kandungannya.
Hal tersebut tentu sangat bertolak belakang dengan gagasan maupun program yang diberikan pemerintah terkait dengan perlindungan perempuan dan anak. Kekerasan terhadap perempuan berakar dari ketidakseimbangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Perempuan korban kekerasan menghadapi berbagai tantangan dalam pemenuhan hak mereka atas keamanan, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan pemerintah telah membuat program prioritas seperti yang telah tercantum dalam Nawa Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019). Hal ini juga sejalan dengan tujuan pemerintah untuk mengakhiri segala jenis diskriminasi terhadap perempuan dimanapun.
Tantangan dan Harapan
Meskipun pemerintah berupaya menyelesaikan dan membentuk bermacam-macam peraturan yang mengatur terkait perlindungan perempuan, bahkan pemerintah juga telah membentuk sebuah lembaga yang mengatur perlindungan perempuan. Akan tetapi hal tersebut juga belum mampu mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan yang tiap tahun semakin meningkat. Beberapa langkah menurut hemat penulis menjadi pertimbangan elemen stakeholder yakni;
Pertama, pemerintah diharapakan berkenan untuk bekerja sama dengan lembaga, organisasi, maupun masyarakat luas di tingkat lokal maupun nasional untuk merumuskan kebijakan, program, maupun sistem yang mampu melindungi perempuan dari kekerasan.
Kedua, pemerintah diharapkan juga dapat menghubungkan perempuan pada layanan yang mereka butuhkan ketika mengalami kekerasan. Hal ini dilakukan dengan membentuk kelompok perempuan, organisasi perempuan, untuk melatih mereka dalam penjangkauan dan pengorganisasian perempuan sebagai paralegal, melakukan advokasi dan kampanye kepada publik, menyediakan lembaga hokum sebagai pendamping serta penanganan kasus.
Ketiga, pemerintah juga harus berinisiatif untuk mengadakan serta mengembangkan “Reses Partisipatif” yang membawa perwakilan lembaga atau organisasi perempuan untuk ikut serta dalam konsultasi politik maupun audiensi bersama dengan anggota legislatif atau parlemen di tingkat lokal maupun nasional.
Keempat, jika pemerintah belum maksimal, maka perlu adanya upaya pendampingan serta mengedukasi Masyarakat agar kekerasan pelecahan Perempuan dapat dibawa ke ranah hukum.
Oleh: Hanum Salvadila, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Ampel. Kader GMNI UINSA Gunung Anyar.