Telegrafi – Kontestasi politik terutama demokrasi lokal ternyata masih disesaki sisi kelam partai politik. Hal itu bisa dilacak dari banyaknya upaya pemerasan yang dilakukan oknum elite partai politik terhadap kandidat politik yang akan maju dalam setiap kontestasi politik baik di level eksekutif maupun legislatif. Harus diakui mahalnya biaya yang harus ditanggung oleh para kandidat politik membuat partai politik acapkali mencari langkah pragmatis guna menyelesaikannya.
Mahar Politik
Langkah pragmatis ini salah satunya sebagai tradisi mahar politik. Hal ini merujuk pada pengertian bagaimana setiap kandidat politik yang akan bertarung di pemilihan kepala daerah pilkada diwajibkan untuk menyetorkan sejumlah uang yang sudah ditetapkan oleh pengurus partai politik. Dengan bahasa lain, tradisi mahar politik bisa dengan dalih biaya pemenangan tim sukses, biaya untuk acara debat atau focus group discussion (FGD), hingga biaya untuk menyewa ahli kejiwaan. Untuk zaman now bahkan ada pula biaya untuk menyewa buzzer politik di media sosial serta para relawan politik. Itupun belum termasuk biaya untuk menilai dan mengetahui elektabilitas kandidat politik yang diusulkan kepada pengurus pusat partai.
Inilah kemudian yang dimanfaatkan oknum partai politik yang diam-diam melembagakan mahar politik menjadi sebuah hal yang lumrah. Eksesnya, langkah pragmatis ini kemudian diam-diam menjelma menjadi sebuah habitus atau kebiasaan. Yang mana praktik kolusi dan nepotisme antara elite partai politik dan kandidat yang akan diusung semakin menjadi hal lumrah. Dikatakan demikian karena proses rekrutmen politik akhirnya mutlak menjadi domain elite pimpinan partai politik, baik di daerah maupun di pusat tanpa lagi mengakomodir aspirasi publik.
Sisi kelam inilah yang kerap membuat tradisi mahar politik kian terlembaga. Meski terdapat larangan bagi partai politik untuk tidak menerima mahar politik seperti tertuang dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015. Namun regulasi tersebut tidak menjamin dapat menekan merebaknya tradisi mahar politik. Apalagi, aturan hukum tetap memberi ruang bagi partai politik untuk ikut dalam proses rekrutmen politik dalam pilkada yang termaktub dalam Pasal 56 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur calon pasangan kepala daerah harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Kesempatan inilah yang acapkali digunakan oleh partai politik untuk menjadikan tradisi mahar politik sebagai bekal untuk bertahan hidup.
Memang harus diakui kontestasi politik membutuhkan biaya yang sangat besar. Akan tetapi menyandera kandidat politik yang populis sama saja akan membuat publik antipati terhadap eksistensi partai politik. Bahkan ekses lainnya, tradisi mahar politik berpotensi melahirkan politik plutokrasi, yakni sistem politik yang hanya menempatkan orang-orang dengan kekuatan finansial besar yang akan terpilih. Akhirnya kandidat politik bermodal besar akan lebih leluasa menggunakan uangnya untuk membeli suara rakyat yang mendorong lahirnya perburuan rente. Artinya jikalau para penyelenggara pemilu tidak mampu menyelesaikan persoalan sisi kelam partai politik ini, besar kemungkinan untuk periode kontestasi mendatang sisi kelam ini akan menjadi bumerang bagi keberlangsungan partai politik.
Epilog
Kita berharap elite partai politik dapat objektif melihat sisi kelam ini dan melakukan evaluasi terutama dalam proses kaderisasi. Sebab, kegagalan pengkaderan telah banyak memunculkan tradisi mahar politik baik dalam ranah eksekutif dan legislatif. Untuk itu guna memutus sisi kelam partai politik ini diperlukan langkah taktis seperti perubahan sistem pemilu seperti menggunakan pemilihan e-voting. Meski demikian, penggunaan teknik e-voting masih harus dikaji lagi agar selaras dengan kontur geopolitik Indonesia.
Terakhir, atau bisa pula dengan mendorong hadirnya pengawasan partisipatoris dari publik dan warganet. Sebab banyak kasus mahar politik yang bisa menjadi viral hingga opini publik berkat dukungan dari para warganet. Dengan kata lain, dukungan dari semua stakeholder termasuk para penyelenggara negara bisa bersama-sama mereduksi sisi kelam partai politik sedemikian rupa.
Oleh : Bambang Arianto MA. Peneliti Politik di LPPM Aswaja Center Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta. Photo : Antara/Noveradika