Telegrafi – Perbincangan mengenai ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19 menjadi diskursus publik yang hangat akhir-akhir ini. Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) telah mengingatkan negara-negara di berbagai benua mengenai ancaman krisis pangan karena terganggunya suplai dan produksi akibat pandemi.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga memprediksi 30 persen wilayah yang masuk zona musim akan mengalami kekeringan yang berpotensi mengganggu produksi pangan.
Potensi persoalan pangan, terutama beras, menjadi perhatian serius pemerintah. Presiden Joko Widodo dalam rapat kabinet terbatas pada 22 April 2020 telah memberikan instruksi kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju agar menjaga stok pangan utama dan menjamin akses pangan yang aman bagi masyarakat.
Dalam urusan pangan, Indonesia memiliki masalah tersendiri. Salah satunya, produksi beras yang terus menurun dari tahun ke tahun. Tabel berikut memberikan gambarannya.
Kementerian Pertanian memperkirakan, total produksi beras nasional pada 2020 mencapai 30.421.661 ton. Sementara itu, dengan jumlah penduduk 269.600.000 jiwa, merujuk Survei Penduduk Antar Sensus 2015, dan konsumsi beras per kapita per tahun 111,58 kilogram, total konsumsi beras nasional pada tahun ini diperkirakan 30.081.968 ton, dengan surplus 339.663 ton.
Data produksi dan konsumsi beras pada 2018 dan 2019 serta perkiraan produksi juga konsumsi pada 2020 menunjukkan tren surplus produksi beras yang menurun. Di sisi lain, untuk menjaga stabilitas dan ketersediaan beras yang aman, stok sebagai persediaan di gudang Bulog harus mencapai 2.000.000 hingga 2.500.000 ton. Selisih surplus produksi beras dengan stok aman untuk menjaga stabilitas itulah yang sering diimpor sebagai cadangan beras pemerintah.
Berdasar perkiraan data empiris yang ada, stok beras memang masih aman sampai akhir Desember 2020. Namun, bagaimana dengan tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya. Keadaan itulah yang membuat kita harus waspada dan siaga dengan kebijakan, langkah, serta upaya nyata untuk mengantisipasinya.
Sejauh ini, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah dalam menghadapi potensi krisis pangan. Salah satunya dengan mencetak sawah baru yang merupakan solusi jangka panjang dengan belajar dari kegagalan proyek lahan gambut satu juta hektare di Kalimantan Tengah pada 1995 dan program food estate di Papua pada 2008.
Selain solusi jangka panjang, pemerintah perlu menempuh solusi jangka pendek yang tepat dan strategis. Langkah-langkah jangka pendek itu bisa dilakukan dari hulu maupun hilir.
Dari sisi on farm, terdapat beberapa langkah yang perlu ditempuh. Pertama, menjamin ketersediaan sarana produksi pertanian (saprodi) yang baik dan andal. Upayanya, bibit, benih, pupuk, obat-obatan, dan saprodi lainnya disediakan dengan melakukan mekanisasi pertanian.
Kedua, pemerintah perlu menerapkan manajemen pengairan dengan metode satu sungai dengan satu manajemen. Upaya itu dilakukan terutama dengan pengerukan dan fungsionalisasi waduk atau bendungan yang sudah ada maupun membuat waduk baru sesuai kebutuhan.
Ketiga, perlu diwujudkan research (riset) dan development (R&D) setiap tahun untuk menghasilkan inovasi bibit baru dengan minimal dua varietas unggul (one year two innovation).
Dari sisi off farm, terdapat sejumlah langkah strategis yang perlu ditempuh. Pertama, diperlukan gudang penyimpanan beras yang layak sehingga jauh dari hama seperti tikus dan aman dari perubahan cuaca seperti hujan untuk menjaga gabah maupun beras agar tidak basah.
Kedua, pemerintah perlu memfokuskan pembiayaan/KUR di beras dengan memasukkan setiap gabungan kelompok tani (gapoktan) yang memiliki lahan 200 hingga 300 hektare ke dalam koperasi tani. Pembiayaan KUR Rp 500 juta bagi setiap gapoktan/koperasi tani diberikan untuk membeli alat-alat pertanian seperti rice transplanter, combine harvester, dryer, power thresher, corn sheller dan rice milling unit, traktor, serta pompa air. Pinjaman diberikan dengan bunga 6 persen dan selama lima tahun kembali.
Ketiga, untuk mendorong gairah petani menanam padi, perlu ditetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) dan harga eceran tertinggi (HET) yang realistis. Keempat, memperkuat peran dan fungsi kelembagaan pangan negara sebagai buffer stock beras. Kelima, memanfaatkan teknologi digital dengan mendorong petani menjual berasnya secara e-commerce dan marketplace.
Solusi jangka panjang dan jangka pendek di atas perlu dipadukan dengan pemetaan potensi produk pangan dari tiap-tiap daerah. Dengan begitu, kita memiliki basis data yang sahih mengenai daerah kekurangan beras dan kelebihan beras.
Upaya lain adalah memperkuat dan meningkatkan penggunaan teknologi satelit sebagai penyedia informasi pertumbuhan padi untuk mengetahui data luas tambah tanam (LTT) dan luasan panen secara aktual.
Beras merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Karena itu, menjamin tersedianya beras dalam jumlah dan kualitas yang cukup serta harga yang terjangkau oleh masyarakat merupakan hal pokok yang harus dihadirkan.
Di sisi lain, peningkatan ketahanan pangan yang genuine atau tidak semu dapat memperkuat ekonomi rumah tangga petani dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Jika dilakukan dengan baik, sistematis, dan berkelanjutan, langkah-langkah dan upaya-upaya di atas diyakini mampu memperkuat ketahanan pangan tanpa melakukan impor. Pendek kata, Indonesia dapat dengan jalan mandiri memberi makan rakyatnya sendiri dengan memacu produksi beras dalam negeri dan siap menghadapi ancaman krisis pangan di tengah pandemi.
Oleh: Soekarwo, Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia