Telegrafi – Salah satu tantangan yang dihadapi Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam masa jabatan keduanya adalah meningkatkan investasi dan mendorong ekspor dengan tujuan untuk menutup defisit neraca transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan. Untuk tujuan itu, kementerian baru di bidang investasi, ekonomi digital dan ekonomi kreatif akan dibentuk. Selain itu, fungsi baru akan ditambahkan ke Kementerian Luar Negeri yang berurusan dengan perdagangan internasional.
Perubahan itu sedang dibuat, dalam kata Jokowi, karena “kami memiliki dua masalah: meningkatkan investasi dan meningkatkan ekspor”. Sederhananya, kata-kata Jokowi penuh makna dan memberikan ruang yang cukup untuk interpretasi mengenai bagaimana melakukan diplomasi dan kebijakan luar negeri Indonesia.
Investasi dan ekspor selalu menjadi bagian dari diplomasi dan kebijakan luar negeri yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri melalui misinya di seluruh dunia. Pertanyaannya adalah bagaimana menafsirkan instruksi Presiden untuk “meningkatkan investasi dan meningkatkan ekspor” dari perspektif diplomasi dan kebijakan luar negeri.
Dari sudut pandang strategis-konseptual, diplomasi di bawah kepemimpinan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi selama lima tahun terakhir telah ditujukan untuk membawa manfaat nyata bagi rakyat. Ini sejalan dengan kebijakan yang berorientasi pada rakyat Presiden Jokowi. Dalam semangat ini, diplomasi harus berkorelasi dengan kebutuhan rakyat: seperti yang kita sebut diplomasi “sederhana”.
Diplomasi semacam ini pada dasarnya adalah penajaman sekaligus perluasan definisi diplomasi Indonesia, yang sebelumnya sangat membebani politik regional dan global. Memang benar bahwa negara besar seperti Indonesia harus memainkan peran penting dan menunjukkan kepemimpinannya di tingkat regional dan global.
Partisipasi dalam forum regional dan multilateral seperti ASEAN, Kelompok 20, Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik, KTT Pertemuan Asia-Eropa, Indo-Pasifik, dll. Menunjukkan bahwa Indonesia memainkan peran aktif dalam menangani masalah-masalah regional dan internasional.
Banyak yang mungkin berpikir kehadiran Indonesia di forum internasional itu hanyalah isyarat diplomatik yang sengaja dibuatnya ke negara lain. Tidak ada yang bisa lebih jauh dari kebenaran. Dalam setiap pertemuan regional atau multilateral, Indonesia hampir selalu membawa agenda diplomasi ekonomi untuk menarik investor asing, dengan penekanan khusus pada ekonomi digital, infrastruktur dan pendidikan dan pelatihan kejuruan. Karena itu, setiap rupiah yang dihabiskan untuk perjalanan luar negeri akan menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan diplomasi sederhana.
Presiden Jokowi telah mengarahkan fokus diplomasi dalam lima tahun ke depan untuk investasi dan promosi ekspor. Ini mirip dengan instruksinya empat tahun lalu ketika ia meminta duta besar dan diplomat Indonesia untuk bertindak sebagai tenaga penjualan untuk produk-produk Indonesia. Berdasarkan instruksi ini, Kementerian Luar Negeri memprakarsai “diplomasi sederhana” dengan ekonomi diberi prioritas.
Dengan menggunakan sumber daya manusia, anggaran, dan institusi mereka yang sudah mapan, diplomat Indonesia di luar negeri melakukan promosi ekonomi yang biasa disebut perdagangan, pariwisata, dan investasi (TTI). Tiga pilar diplomasi ekonomi sejalan dengan esensi diplomasi sederhana: membawa manfaat nyata bagi rakyat. Jika Kementerian Luar Negeri dipercayakan dengan tugas baru terkait perdagangan internasional, konsep diplomasi sederhana hanya akan ditegaskan kembali.
Dengan perdagangan internasional yang berada di bawah lingkup Kementerian Luar Negeri dalam hal operasional dan promosi, upaya untuk meningkatkan perdagangan luar negeri akan langsung terhubung dengan rancangan besar kebijakan luar negeri dan diplomasi sederhana. Pada titik ini, diplomasi Indonesia sudah pasti semakin membumi.
Konektivitas antara perdagangan luar negeri dan kebijakan luar negeri diperlukan karena diplomasi ekonomi bukan hanya tentang mempromosikan TTI. Dengan demikian, perluasan portofolio Kementerian Luar Negeri tidak sesederhana memberikannya tugas baru dan anggaran yang lebih besar. Dibutuhkan perubahan paradigma dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi. Diplomasi ekonomi harus sejalan dengan visi strategis geopolitik, geo-ekonomi, kecenderungan gravitasi ekonomi dunia, stabilitas politik regional dan global dan persaingan ideologis antar negara.
Semua persepsi strategis tersebut harus berfungsi sebagai dasar untuk merancang strategi diplomasi ekonomi. Jika diplomasi ekonomi beroperasi dengan pendekatan sektoral, akan berisiko terisolir dari konteks makro-politik dan kepentingan nasional yang lebih luas. Perubahan paradigma diplomasi tidak boleh direduksi menjadi pergeseran fokus dari diplomasi politik ke diplomasi ekonomi, tetapi lebih pada perluasan perspektif diplomasi ekonomi itu sendiri.
Diplomasi ekonomi konvensional yang menekankan ekonomi sektor bisnis perlu ditafsirkan kembali dengan meluaskannya ke dalam diplomasi ekonomi dengan perspektif makro-politik sehingga mendukung pelaksanaan diplomasi di bidang lain.
Tantangannya adalah bagaimana menghubungkan diplomasi ekonomi sektor bisnis dan diplomasi makro-politik. Misalnya, diplomasi ekonomi yang mendukung keutuhan wilayah Indonesia. Tidak adanya pendudukan yang efektif oleh negara kepulauan garis depan telah meningkatkan kerentanan integritas teritorial. Begitu juga keterbelakangan ekonomi di daerah sepanjang perbatasan tanahnya.
Kesenjangan kesejahteraan dapat menyebabkan warga di daerah perbatasan untuk mengalihkan kesetiaan ke negara-negara tetangga, mempertaruhkan integritas teritorial. Untuk alasan ini, diplomasi ekonomi perlu fokus pada menarik investasi di infrastruktur jalan, pelabuhan, pariwisata atau zona ekonomi khusus, sehingga pusat-pusat pertumbuhan akan dibangun di pulau-pulau garis depan dan daerah perbatasan.
Ancaman potensial disintegrasi nasional di Papua, misalnya, dapat diatasi melalui diplomasi ekonomi dan perdagangan internasional. Kedekatan geografis dan etnis Papua dengan negara-negara Pasifik harus menginspirasi Indonesia untuk memanfaatkan sentimen Melanesia ini untuk meningkatkan perdagangan dan hubungan ekonomi dengan negara-negara Pasifik. Upaya untuk menghubungkan diplomasi ekonomi sektor-bisnis (baik investasi, perdagangan atau promosi pariwisata) dengan kepentingan makro-politik dan nasional yang lebih luas datang pada saat yang tepat. Diplomasi sederhana yang diprakarsai Retno akan semakin memburuk demi kebaikan rakyat.
Oleh : Darmansjah Djumala Duta Besar Indonesia untuk Austria dan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Wina, dan seorang dosen pada program pascasarjana di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung. Photo : Antara / Nyoman Budhiana