Telerasi – Adalah “The Week That Changed The Word” sebuah konklusi kata bagi Richard Nixon dalam kunjungannya yang bersejarah ke China pada 21-28 Februari 1972 saat bertemu dengan Mao Tse Tung.
Gagasan brilian Henry Kissinger untuk membuka isolasi Republik Rakyat China telah mengubah konstelasi geopolitik dan ekonomi. Misi rahasianya ke China sebelum kunjungan Nixon disambut baik oleh Mao Tse Tung. Seluruh dunia mengalami shock termasuk ilmuwan ekonomi dan politik dunia yang tidak menduga dan diluar jangkauan semua analisa dan prediksi mereka mengenai persaingan ideologi kapitalisme dan komunisme.
Kepentingan AS dan China
Amerika Serikat menyadari sepenuhnya perkembangan geopolitik dan ekonomi dunia yang akan merugikan kepentingannya, jika tidak dilakukan
langkah strategis, yaitu melakukan pendekatan dan membuka hubungan diplomatik dengan China dengan tujuan utama, keluar dari perang Vietnam
dan stabilisasi perekonomian dan finansial AS.
AS mengalami kesulitan ekonomi dikarenakan tingginya pembiayaan perang
Vietnam menyebabkan defisit anggaran belanjanya. Selain itu defisit neraca
perdagangan dengan Eropa Barat dan Jepang berdampak semakin merosotnya nilai Dollar terhadap emas. (Akhir dari kesepakatan Bretton Wood).
Memanfaatkan retaknya hubungan Sino-Sovyet yang berlangsung sejak tahun
1956 dan mengisolir Uni Sovyet; mendorong China melakukan “open door
policy” untuk masuknya investasi asing. Perang Vietnam berakhir tahun 1975
dan tentara AS meninggalkan Vietnam.
Kepentingan China adalah mengatasi kesulitan ekonomi dan menciptakan
ratusan juta lapangan kerja, serta mengejar ketertinggalannya di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Tahun 1978 China membuka diri terhadap
dunia internasional dan membuka wilayah pantai timur untuk investor asing,
terutama dari Hongkong dan Taiwan, kemudian AS, Eropa, Jepang, Australia
dan negara industri barat lainnya.
Di bawah Deng Xiao Ping, China melakukan reformasi ekonomi menuju China modern. Deng bahkan berkeliling negara-negara Asia, antara lain Singapura, Korea Selatan dan Jepang untuk bertukar pikiran dan berbagi pengalaman dengan para pemimpinnya guna merancang perekonomian China ke depan.
Deng menyebut system perekonomian China sebagai “Socialist Market
Economy”. Dalam bahasa para ekonom dunia lebih dikenal sebagai “State
Capitalism”. Masuknya perusahaan-perusahaan asing ke China disebut juga
sebagai “New International Division of Labour”, Pembagian Kerja Internasional Baru.
Masuknya modal asing, teknologi dan pengetahuan management telah
membuka ratusan juta lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi
hingga mencapai 10% , peningkatan pendapatan per kapita naik 14 kali lipat
dan meningkatkan cadangan devisanya lebih dari 3 trilyun dollar pada
dasawarsa pertama abad ini.
China terintegrasi ke dalam system ekonomi dan
politik internasional serta menjadi anggota World Bank, IMF, WTO. Selain itu, China mengirim ratusan ribu mahasiswanya untuk studi di perguruan tinggi AS, seperti Harvard, MIT dan negara Eropa Barat seperti Jerman, Inggris, Perancis,Kanada, Jepang, Australia, dll.
Berlangsung pertukaran pengalaman dan kerjasama ilmuwan China dan
negara-negara barat di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Mahasiswa China di samping mahasiswa Korea, Jepang, Taiwan dan Singapura mengungguli mahasiswa kulit putih di bidang sains dan teknologi (Joseph Stiglitz: 2002; Fareed Zakaria: 2012).
Disisi lain, perkembangan ekonomi ini juga memiliki sisi negatif bagi China, antara lain meningkatnya ketimpangan pendapatan dan kekayaan antara
warga perkotaan dan pedesaan, ketimpangan ekonomi antara wilayah Pantai
Timur dan daerah pedalaman di Barat, serta merebaknya korupsi. Zhu Rongji, belajar dari Singapura mengatasi penyakit korupsi dengan cara yang sangat tegas dan keras.
Chimerica
Niall Ferguson, sejarawan Inggris yang mengajar di Harvard dalam analisanya tentang hubungan China dan America memberi nama Chimerica yaitu simbiose perekonomian China dan Amerika Serikat (Ferguson: 2008).
Dalam mytologi Yunani kata Chimera adalah monster, penjelmaan dari
gabungan tiga ekor hewan. Kepalanya berbentuk kepala singa, bentuk
tubuhnya merupakan tubuh kambing dan ekornya berbentuk ular atau naga.
Ferguson menjelaskan tentang kerjasama China dan Amerika. China
menurutnya, memproduksi barang-barang yang murah dan diekspor terutama ke AS dan negara industri barat lainnya. Devisa dari hasil ekspor China diinvestasikan di treasury bond (obligasi pemerintah AS). Di sisi lain AS melalui kredit dari China ini dapat membeli produk-produk murah yang diimport dari China.
AS memanfaatkan kredit dengan bunga rendah ini untuk meningkatkan
konsumsi domestiknya. Disisi lain, China memanfaatkan hubungan ini untuk
menciptakan 200 juta lapangan kerja dan pertumbuhan ekonominya. Dana
yang mengalir dari China ke AS ini, menurut Ferguson, membuka akses bagi
perusahaan dan rumah tangga di AS untuk mendapatkan kredit dan mendorong terjadinya booming di awal tahun 2000an. Melalui pembelian
tresury bonds, treasury bills Amerika yang sangat besar melalui Bank Sentral
China, nilai tukar Yuan terhadap Dollar dapat ditekan rendah dan selanjutnya
menguntungkan ekspor China ke AS.
Bretton Wood Regime II
Menurut ekonom Michael Dooley, David Folkert Landau dan Peter Garber, AS
dan China serta negara Asia Timur lainnya bersepakat membuat system nilai
tukar mata uang negara-negara Asia Timur, terutama mata uang Yuan setelah
tahun 2001 dengan Dollar AS (Pegged). Kesepakatan ini disebut sebagai
Bretton Wood Regime II.
Istilah mereka mengacu pada System Bretton Woods I, yaitu kesepakatan
banyak negara untuk menetapkan nilai tukar mata uang masing-masing negara terhadap emas dan Dollar Amerika, pada tahun 1944 di Bretton Wood di negara bagian New Hamspire, Amerika Serikat. Konperensi ini diikuti 44
negara, tetapi hanya delegasi AS, dipimpin Harry Dexter White dan Inggris dipimpin ekonom terkemuka, John Maynard Keynes untuk menentukan hasil
akhir.
Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan didirikannya organisasi internasional seperti IMF (International Monetary Fund), International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang kemudian berganti nama menjadi WTO (World Trade Organization). Semua nilai mata uang di dukung oleh cadangan emas yang dimilikinya. Mata uang Dollar dinyatakan sebagai cadangan mata uang dunia. Nilainya 35 once emas per satu Dollar (fixe exchange rate, nilai tukar tetap).
Hingga pada tahun 1971 system Bretton Wood berakhir, karena AS tidak dapat mempertahankan kejatuhan nilai mata uang Dollar. Penyebabnya adalah defisit neraca perdagangan dengan negara-negara Eropa Barat dan Jepang serta defisit anggaran belanja akibat perang Vietnam yang menguras
keuangan AS.
Di awal abad 21 system tersebut diterapkan dalam hubungan ekonomi dan perdagangan antara AS dan negara Asia Timur, terutama China dan Jepang. Sistem ini pada dasarnya menopang sebagian besar pembiayaan defisit
transaksi berjalan dan defisit anggaran AS melalui arus masuk modal dari
China dan Jepang.
Sistem ini intinya berjalan sebagai berikut : Defisit transaksi berjalan dan defisit anggaran AS dibiayai dengan arus modal masuk dari negara-negara Asia Timur, khususnya China dan Jepang. Di sisi lain AS mengimport produk-produk yang murah dari Asia Timur.
Karena China dan Jepang tidak banyak mengimpor barang dari AS, menyebabkan tingginya defisit perdagangan luar negeri AS. Baik China dan
Jepang menerapkan strategi kebijakan nilai tukar mata uang mereka rendah terhadap mata uang lainnya, terutama Dollar. Strategi ini menjamin penjualan produk produk ekspor mereka di dunia internasional.
Bretton Wood Regime II ini dinilai sebagai penyebab awal terjadinya krisis finansial sejak 2007 dan membentuk prasyarat ekonomi makro sebagai lahan
subur yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi dan finansial (lihat
pemberian kredit subprime mortgage!) Selanjutnya The Fed menurunkan suku bunga acuan untuk mengatasi krisis ini dan semakin menurunkan nilai Dollar hingga 8% (devaluasi) pada bulan Februari/Maret 2008. Bretton Wood Regime II bangkrut.
Oleh: Kamerad, Peneliti Ekonomi Politik & Penerjemah