Telerasi – Perempuan adalah sosok yang tidak pernah sepi dari pembicaraan manusia dari waktu ke waktu. Keberadaannya di tengah-tengah laki-laki senantiasa menjadi topik perbincangan yang hangat dan menarik. Ada yang membicarakannya dengan segala hal positif yang dimilikinya dan tidak jarang pula ada yang mengeluarkan pendapat dan pandangan mengenai beragam hal negatif yang mengitarinya. Seiring berjalannya waktu, pandangan yang ada pada masa tertentu mengalami perkembangan—bahkan tidak jarang perubahan—dibandingkan pada era lainnya.
Pembentukan Pandangan Tentang Perempuan
Ketika seseorang hendak menilai sesuatu, maka hal itu tergantung dengan latar belakang pengetahuan yang dimilikinya. Dalam konteks perempuan, maka perspektif yang dipakai adalah pengetahuan manusia tentang perempuan di kala manusia mulai untuk berpikir tentang hal tersebut. Pada awalnya, manusia memandang perempuan adalah makhluk Tuhan yang lemah di tengah kerasnya alam pada masa-masa permulaan kehidupan manusia. Hal ini muncul karena keterbatasan pengetahuan manusia saat itu dalam menilai sesuatu kecuali atas kebutuhan yang mereka hadapi.
Ketika umat manusia semakin berkembang dan tersebar kemana-mana dan seringnya terjadi beragam pertikaian dan peperangan, maka perspektif manusia mengenai perempuan semakin negatif. Perang yang melibatkan dua pihak yang bertikai tentu akan berakhir dengan salah satu pihak yang mengalami kekalahan. Pihak yang kalah tentu akan mengalami segala hal yang buruk, termasuk penawanan dan pemerkosaan terhadap istri dan anak-anak perempuan mereka.
Hal ini tentu menimbulkan aib yang tidak terkirakan bagi pihak yang kalah sehingga muncul anggapan di benak mereka bahwa perempuan tidak lain hanya akan menimbulkan keburukan bagi kelompok atau sukunya. Untuk menyebut sebagai contoh, di masa-masa pra Islam di kawasan Arab, beberapa kabilah membunuh anak-anak perempuan mereka dengan menguburnya hidup-hidup karena dikuatirkan menimbulkan aib keluarga dan sukunya kelak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pandangan yang mengemuka mengenai perempuan adalah berdasarkan atas pemenuhan kebutuhan yang dihadapi oleh manusia saat itu.
Pandangan-pandangan mengenai perempuan terus mengalami perkembangan hingga sampai ke era keragamanan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Ariestotle, misalnya, di era kejayaan Yunani menyatakan bahwa perempuan adalah sosok yang memiliki banyak kekurangan dan tidak berkualitas. Begitu juga dengan filsuf Thomas Aquinas yang meyakini bahwa perempuan adalah sosok yang tidak sempurna yang menteorikan bahwa laki-laki adalah superior, bersifat dewa, cerdas dan berbanding terbalik dengan perempuan yang imperior.
Sebuah ungkapan juga pernah mengemuka yang menyatakan bahwa perempuan tidak lain hanya sebagai tempat peranakan (tota mulier in utero) atau dengan kata lain bahwa perempuan tidak lebih sebagai tempat laki-laki menanamkan benihnya untuk dikembangbiakkan layaknya padi di ladang atau sawah. Ahli psikoanalisis, Freud, juga pernah berujar bahwa perempuan itu terbentuk dari kecemburuan penis. Beragam pendangan ini tentu berpengaruh terhadap banyak hal yang melingkupi hidup perempuan.
Karena dianggap sebagai manusia lemah dan tidak berdaya, maka lingkungan yang ‘layak’ bagi perempuan adalah lingkungan yang tenang dan aman. Tidak seperti ‘mitranya’ laki-laki yang berada dalam lingkungan yang relatif keras dan menantang, perempuan ‘hanya boleh’ berada dalam lingkungan yang nyaman, seperti di dalam rumah saja. Kalau pun dalam suasana perang perempuan diperbolehkan terlibat, maka ‘lahannya’ adalah mengurusi korban yang sakit atau terluka atau berada di garda belakang pada sektor logistik.
Kondisi seperti ini selanjutnya memunculkan tradisi yang menganggap perempuan hanya ‘layak’ berkutat pada wilayah domestik saja, yaitu mengurusi rumah tangga, mengasuh anak dan melayani suami. Karena hanya ‘dapat’ hidup dalam lingkungan yang aman dan nyaman dan berperan di wilayah domestik saja, maka tentu perempuan tidak membutuhkan banyak harta karena sudah menjadi tanggung jawab suaminya.
Hal ini tentu berdampak pada berkurangnya hak warisan bagi perempuan, dimana dalam Islam, misalnya, laki-laki mendapatkan dua bagian karena memiliki kewajiban nafkah bagi keluarganya, sedangkan perempuan hanya mendapatkan satu bagian saja. Dampak lainnya adalah pada agama dimana perempuan tidak mendapatkan porsi yang sama dengan laki-laki. Dalam agama Hindu, misalnya, perempuan tidak pernah akan diterima sebagai tokoh agama karena sebagai perempuan ia memiliki beragam ‘kelemahan’ seperti menstruasi yang dianggap sebagai kotoran. Dalam Islam juga ada larangan bagi perempuan untuk mendekati masjid dan melaksanakan salat ketika ia sedang menstruasi, bandingkan dengan laki-laki yang dapat melakukan apapun tanpa dibatasi oleh beragam aturan.
Perdebatan Citra Perempuan
Berdasarkan paparan di atas dapat diungkapkan bahwa pandangan mengenai perempuan mengemuka berdasarkan perspektif manusia untuk memenuhi kebutuhannya saat itu. Pandangan-pandangan ini di kemudian hari mewujud menjadi semacam tradisi atau budaya yang seakan sudah benar dan sah berlaku serta diikuti oleh segenap manusia, termasuk perempuan sendiri. Namun demikian, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kesadaran untuk menempatkan sesuatu pada porsinya yang benar, maka gugatan-gugatan atas ‘budaya’ tersebut pun bermunculan.
Menurut beberapa pihak yang sangat intensif melakukan kajian terhadap perempuan atau yang biasa dikenal dengan feminis, melihat perempuan harus berdasarkan pada konsep nature dan nurture. ‘Nature’ adalah pemberian Tuhan yang melekat secara alami pada diri perempuan, seperti rahim, menstruasi, melahirkan, menyusui dan sifat-sifat keibuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki, sedangkan ‘Nurture’ sesuatu yang berupa konstruksi budaya yang disematkan secara sengaja kepada diri perempuan oleh masyarakatnya, seperti lemah, bodoh dan tidak berkualitas. Dengan melihat konsep ini, maka pandangan mengenai perempuan akan menjadi lebih adil dan proporsional.
Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan yang signifikan. Laki-laki memiliki alat kelamin yang berbeda sama sekali dengan perempuan, begitu juga dengan kondisi fisik lainnya seperti dada dan lain sebagainya. Di samping beragam perbedaan tersebut, laki-laki dan perempuan sesungguhnya juga memiliki beragam persamaan yang tidak seharusnya menempatkan perempuan dalam posisi subordinat sebagaimana yang selama ini dilakukan.
Dalam bukunya ‘The Descent of Man’ Charles Darwin memang pernah mengungkapkan bahwa otak perempuan lebih kecil dari laki-laki sehingga laki-laki lebih cerdas, namun beberapa tahun kemudian terbukti bahwa hal ini tidak benar setelah Carl Degler melakukan penelaahan lebih lanjut. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan di Amerika juga membuktikan bahwa otak perempuan memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi dan tidak kalah jika dibandingkan laki-laki. Hanya saja, karena budaya patriarkhi yang menempatkan perempuan pada wilayah domestik sehingga tidak banyak yang mendapatkan kesempatan menimba ilmu, maka beragam pengetahuan memang dikuasai oleh laki-laki.
Dengan demikian, kalangan feminis meyakini bahwa jika perempuan ditempa dan berada pada lingkungan yang sama dengan laki-laki, maka sesungguhnya ia akan dapat bersaing dan bahkan dapat mengungulinya. Beragam fakta sekarang memang membuktikan banyak perempuan yang berada pada posisi yang justru dianggap mustahil sebelumnya karena memang diberi ruang yang sama dan kebebasan untuk bersama-sama berkompetisi dengan laki-laki. Ada perempuan yang ahli nuklir, jenderal, ahli teknologi informasi, astronot dan bahkan pemimpin bagi masyarakatnya.
Sesuatu yang berupa ‘nature’ yang ada pada diri perempuan memang tidak dapat dihilangkan karena akan terus melekat sampai kapan pun. Tetapi sebaliknya, sesuatu yang berupa ‘nurture’ yang memang sengaja dilekatkan pada diri perempuan dapat dirubah dan dihilangkan. Hal ini karena sifat-sifat ‘nurture’ ini merupakan hasil dari konstruksi budaya yang ada pada masyarakat tersebut. Sifat bodoh atau tidak memiliki intelijensia, misalnya, yang disematkan kepada perempuan dapat dihilangkan dengan cara menempuh pendidikan yang sama sebagaimana yang dilalui oleh laki-laki. Sebaliknya, sifat ‘nature’ yang menjadi trademark perempuan justru menjadi keistimewaan dan karakteristik tersendiri, bahkan lebih jauh lagi menjadi senjata yang tak ternilai bagi perempuan.
Dengan memiliki sifat ‘nature’ ini, perempuan dapat melahirkan dan mendidik generasi manusia yang justru sangat berkualitas bagi keberlangsungan keturunannya di kemudian hari. Hal ini karena meskipun laki-laki dapat berperan sebagai pengasuh bagi anak-anak, namun tidak ada yang mampu menyaingi kepengasuhan dan kasih sayang seorang ibu.
Akhirnya, perspektif yang mengemuka mengenai perempuan merupakan hasil dari pengetahuan dan pemenuhan akan kebutuhan manusia. Berawal dari pandangan dan pemikiran, akhirnya berujud menjadi tradisi atau budaya yang mengkonstruksi beragam sifat yang kelak melekat pada perempuan. Berdasarkan kajian feminis, melihat sosok perempuan harus berkaca pada dua hal, yaitu nature dan nurture. Sifat yang pertama merupakan bawaan dan pemberian Tuhan yang melekat pada diri perempuan dan tidak dapat dihilangkan, sedangkan yang kedua merupakan konstruksi budaya yang sengaja dilekatkan serta dapat dihilangkan. Dengan menggunakan konsep ini, maka pandangan mengenai perempuan akan proporsional karena menempatkan perempuan pada posisi dan porsinya yang sebenarnya.
Oleh: Dr. Pahrudin HM, M.A. Dosen STISIP Nurdin Hamzah Jambi dan Direktur Eksekutif Public Trust Institute (PUTIN).