Telegrafi – Salah satu masterpiece sebuah maha karya Sukarno di dunia pemikiran dan perjuangan praksis adalah Marhaenisme. Ajarannya ini menjadi ideologi perjuangan yang digunakan oleh salah satu organisasi kader terbesar yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Marhaenisme yang dicetuskan oleh Presiden pertama Republik Indonesia tersebut sebagai paham dan alat pemikiran ide serta gagasan untuk melawan penindasan oleh sistem yang merugikan rakyat serta kolonial yang terus menjajah kedaulatan bangsa.
Mengutip pidato Bung Karno pada pembukaan Kongres GMNI pada 17 Februari 1959 mengatakan, Marhaenisme adalah asas dan cara perjuangan menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme, dan kolonialisme. Bung Karno menyatakan, secara positif marhaenisme adalah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, sebab nasionalismenya kaum marhaen adalah nasionalisme yang social bewust. Dan, demokrasi kaum marhaen adalah demokrasi yang social bewust.
Apa yang dikatakan Sukarno sebagai tiga prinsip perjuangan, antara lain yaitu : geest – wil – daad. Kata-kata tersebut diambil dari Bahasa Belanda yang berarti: Semangat – Kemauan – Perbuatan. Walaupun begitu simple terdengar, namun penganut-penganutnya yang disebut sebagai kaum Marhaenis sampai sekarang banyak jumlahnya, tetapi mereka nyaris tidak terpelihara, bahkan tercerai-berai dalam fragmentasi dan faksi-faksi, bahkan hampir mirip dengan anak ayam yang kehilangan induknya, entah apa sebabnya, itu yang perlu untuk kita pikirkan bersama. Kembali kepada prinsip perjuangan seperti yang dikatakan Sukarno bahwa semangat, kemauan, dan perbuatan tentang ideologi Marhaenisme harus terus kita bumikan dalam self actuality dan ideology actuality sesuai dengan perkembangan sosial nasional demokrasi di bumi pertiwi pada hari ini dan kedepan tentunya.
Pada era penjajahan, paham tersebut digunakan untuk membela petani yang memiliki lahan dan alat produksi tapi tidak bisa hidup sebanding dengan apa yang dimiliki karena tertindas oleh sistem yang tidak berpihak pada mereka pada waktu itu.
Milenial dan Digital
Penelitian Indonesia Millenial Report 2019 yang menyesuaikan dengan data Bappenas, menyebutkan ada sekitar 63 juta Millenium (20-35 tahun) di Indonesia. Ini sebanding dengan 24% populasi umur produktif (14-64 tahun), dimana terhitung sampai 179,1 juta orang di Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia memproyeksikan bahwa Millenium yang merupakan grup mayoritas dalam struktur demografis Indonesia. World Economic Forum (WEF) pada tahun 2015 lalu pernah memprediksi Indonesia akan menempati peringkat ke-8 ekonomi dunia pada tahun 2020.
Foundation yang berbasis di negara Swiss tersebut juga menerka bahwa Indonesia akan menjadi pasar digital terbesar di Asia Tenggara di tahun 2020, dengan pengguna internet mencapai 140 juta belum lagi dengan kemampuan rakyat Indonesia yang cepat menyerap dan beradaptasi dengan tool-tool digital dan gadget yang semakin canggih dan usebel untuk mendukung aktifitas maupun pekerjaan sehari-hari, mengingat kita pada hari ini hidup di era revolusi industri 4.0 dimana semua alat sudah terkoneksi dengan teknologi dan semua perangkat sudah terkonvergensikan ke dalam digitalisasi.
Sebagai contoh, sebelum era digital, milenial mendapatkan informasi melalui membaca headline di halaman pertama di koran atau menonton TV. Sekarang, mereka dapat mengakses isu utama yang sedang in dan update itu melalui Platform LINE Today (Platform mengumpulkan konten berita dari partner seperti Detik.com dan Kompas.com dan menyebarkannya dengan kepala berita yang menarik). Artinya, dengan hanya bermodal koneksi internet di tangan, para milenial ini bisa mendapatkan informasi kapanpun dan dimanapun. Data menunjukan ada 94,4% Milenium yang terkoneksi dengan internet.
Aktualisasi Sesuai Zaman
Di era perkembangan teknologi dan pola hidup manusia yang cukup cepat dan serba instan, tentunya tantangan ini menjadikan Pekerjaan Rumah tersendiri bagi kita ketika gotong royong yang merupakan perasan intisari dari marhaenisme itu sendiri sudah perlahan mulai tak nampak di masyarakat dan generasi milenial karena mulai beralih ke masyarakat individual yang tergantung dengan teknologi.
Perubahan seperti ini tentunya tidak bisa kita bendung, namun bisa kita siasati dengan tetap memegang teguh budaya luhur kita yang mengajarkan soal prinsip gotong royong. Pemanfaatan teknologi sebagai sarana dan prasarana dalam proses memperkuat kembali prinsip gotong royong dimana kita tidak melihat suku, ras dan agama ataupun golongan dengan cara setiap insan harus mempunyai pedoman untuk tetap memanusiakan manusia.
Marhaenisme hari ini harus di aktualisasikan sesuai zaman dengan pola yang bisa diterima dan bisa diimplementasikan oleh generasi milenial, tidak bisa kemudian kita memakai pola lama yang nantinya akan tergerus waktu. Peran media sosial seperti Youtube, Instagram, dan Facebook serta medsos dan media online lainnya sangat berperan penuh dalam penyebaran dan penyadaran pentingnya berideologi serta bagaimana implementasinya dicontohkan dalam visual medsos tersebut juga penguasaan media dan pemberitaan online sebagai platfom utama digital dalam akses berita secara mainstream yang berdasarkan atas dasar redaksional dan jurnalistik.
Era milenial tentu memiliki dampak terhadap perkembangan ekonomi dan demokrasi di belahan dunia manapun, kita sebagai seorang pejuang pemikir, harus merubah pola lama dalam penyebaran dan implementasi ideologi dapat melalui tulisan dan lisan video agar dapat menjadi pengetahuan dan menjadi literasi bagi masyarakat yang sifatnya harus konstruktif dan mengedukasi.
Sebagai generasi muda bangsa yang akan mewarisi perjuangan dalam mengisi kemerdekaan ini tentunya memiliki tantangan yang sangat besar dalam tetap menjaga keutuhan bangsa dan melestarikan Marhaenisme sebagai asas perjuangan, sehingga ajaran tersebut bisa dirasakan aktualisasinya oleh para kaum marhaen dari zaman ke zaman.
Kaum Marhaenis perlu merefleksikan perjalanan dan aktualisasi ideologi dan kalau perlu, kaum marhaenis menyadari kekeliruannya di dalam memahami situasi ideologi dalam, dan kembali bersatu untuk mengumpulkan energi kumulatif dalam satu wadah pergerakan yang lebih nyata dalam menterjamahkan dan mengaktualisasi semangat ideologi gerakan untuk menceburkan diri dalam massa marhaen, agar apa? Agar supaya marhaenisme sebagai pandangan hidup tidak tenggelam dalam cerita dan wacana ataupun slogan belaka yang hanya untuk mendapatkan popularitas semata.
Kaum Marhaenis perlu merefleksikan perjalanan dan aktualisasi ideologi dan kalau perlu, kaum marhaenis menyadari kekeliruannya di dalam memahami situasi ideologi, dan kembali bersatu untuk mengumpulkan energi kumulatif dalam satu wadah pergerakan yang lebih nyata dan lebih konkrit bertindak dalam menterjemahkan dan mengaktualisasikan semangat ideologi gerakan untuk menceburkan diri dalam massa marhaen, agar apa? Agar supaya marhaenisme sebagai pandangan hidup tidak tenggelam dalam cerita dan wacana ataupun slogan belaka yang hanya untuk mendapatkan popularitas semata atau hanya bangga larut masuk dan tidak bisa keluar dalam dialektika romantisme lama.
Kembali lagi pada tiga prinsip perjuangan Sukarno: geest – wil – daad, yang berarti: Semangat – Kemauan – Perbuatan, patut untuk kita tindaklanjuti sebagai janji dan kesetiaan kita untuk mewujudkan kemajuan Indonesia dan memuliakan kaum marhaen dalam mencapi cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan GMNI sebagai corongnya kawah candradimuka dalam menempa para ksatria-ksatria marhaenis. Merdeka. GMNI Jaya. Marhaen menang!
Oleh : M. Ageng Dendy S, S.I.Kom (Ketua DPD GMNI Jawa Timur 2016-2018)