Telegrafi – Indonesia memang sangat berbeda dengan Malaysia, khususnya dalam penyelenggaraan perguruan tinggi (PT) dan lebih khusus lagi perguruan tinggi asing (PTA). Mulanya banyak (program studi) PT Malaysia yang dibidani orang Indonesia. Sekarang justru PT Malaysia lebih berkembang daripada PT Indonesia.

Bagaimanakah dengan PTA? Malaysia jauh lebih welcome terhadap PTAdaripada Indonesia. Tahun 2000 Malaysia sudah menerima kehadiran University of Nottingham (Inggris). Di sekitar tahun tersebut Malaysia juga menerima kehadiran beberapa PT Australia. Ada Monash University di Selangor, Curtin University dan Swinburne University of Technology di Sarawak, dan sebagainya.

Bagaimana Indonesia? Kita sudah berdiskusi kemungkinan hadirnya PTAuntuk beroperasi di negara kita sejak belasan tahun lalu tetapi tidak pernah menghasilkan kesimpulan untuk menerima. Kita terkesan sangat takut menghadapi PTA dan menganggap PTA sebagai lawan, bukan kawan.

Risiko Ratifikasi

Bagaimana dengan kehadiran PTA di Indonesia sekarang ini? Pimpinan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (KemristekDikti) berencana mengizinkan beroperasinya PTA di Indonesia. Beberapa nama siap ‘melamar’ sudah disebut seperti University of Cambridge (Inggris), National Taiwan University (ROC) dan sebagainya.

Rencana pemerintah tidak berjalan mulus dan banyak ditentang masyarakat, salah satunya Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Aptisi menyatakan kehadiran PTA berpotensi mematikan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Meskipun banyak penolakan masyarakat tetapi menolak kehadiran PTA rasanya makin sulit kalau kita tidak ingin ‘dikucilkan’ masyarakat internasional.

Kenapa? Kita telah meratifikasi Perjanjian WTO melalui UU RI Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Salah satu aspek yang dicakup WTO adalah perdagangan jasa yang diatur dalam General Agreement on Trade in Services (GATS). Hal ini berarti kita harus patuh pada ketentuan WTO khususnya GATS kalau menyangkut perdagangan jasa.

Kiranya perlu diketahui bahwa pendidikan merupakan salah satu dari 12 jasa yang diperdagangkan dan diatur dalam GATS. Dalam posisi seperti ini sulit bagi Indonesia sebagai anggota WTO untuk menolak kehadiran PTA sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi.

Pada sisi yang lain sebagai negara ASEAN Indonesia sudah terikat kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Salah satu kesepakatan yang harus dipatuhi adalah aliran bebas barang (goods), jasa (service), investasi (investment), modal (capital) dan tenaga terampil (skilled labour). Kalau PTAbisa dimasukkan dalam jasa dan/atau tenaga terampil maka semakin sulit bagi kita untuk menolak kehadiran PTAdari sesama negara ASEAN.

Dua PT Singapura, National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University (NTU) termasuk perguruan tinggi terbaik dunia. Dengan demikian dua PT tersebut berpotensi hadir di Indonesia, dan kita sulit untuk menolaknya. Secara internal UU Pendidikan Tinggi kita memberi ruang atas hadirnya PTA di Indonesia. Pasal 90 ayat (1) menyatakan: PT negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Mengubah Persepsi

Jelaslah posisi kita terhadap PTA. Maksudnya, makin lama makin sulit untuk menolak hadirnya PTA di Indonesia. Kita memang bisa membuat aturan yang menghambat hadirnya PTAsebagaimana dilakukan selama ini. Namun kalau hal itu dilakukan terus menerus bukan tidak mungkin kita mendapat complain negara lain sesama angota WTO dan/atau MEA. Memang banyak sisi negatif atas (akan) hadirnya PTA di Indonesia, namun di pihak lain banyak pula sisi positifnya. Misalnya sebagai kompetitor untuk meningkatkan kualitas akademik, profesionalitas layanan, dan produktivitas lulusan. Tidak perlu PT kita memusuhi PTAtetapi justru perlu mengakrabinya.

Bagaimana cara mengakrabi PTA nantinya? Seribu cara bisa kita lakukan. Antara lain mengadakan tukar menukar dosen, menjalankan penelitian bersama, melakukan saling bantu mitra bestari dalam penerbitan jurnal, mengadakan kuliah bersama, saling mengisi kegiatan pengembangan program akademik dan masih banyak lagi. Sebenarnya cara mengakrabi PTA itu relatif mudah. Yang sedikit sulit adalah mengubah persepsi PTAdari lawan menjadi kawan.


Oleh : Prof Dr Ki Supriyoko MPd. Direktur Pascasarjana Pendidikan UST Yogyakarta, Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education bermarkas di Tokyo. | Photo : Shuttrestock