Telegraf – Sejarah mencatat, Bangsa Indonesia yang plural, memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan kerukunan umat beragama. Dasar negara Pancasila dan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, menjadi modal penting dalam mewujudkan kerukunan di tengah pluralitas yang ada. Sejarah juga mencatat bagaimana kebesaran jiwa tokoh Islam yang rela menghapus tujuh kata dari sila pertama dalam piagam Jakarta demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Awalnya sila pertama Pancasila dalam konsep piagam Jakarta berbunyi : Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’ at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Setelah tujuh kata tersebut dihapus, maka sila pertama Pancasila menjadi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Alamsyah Ratu Perwiranegara, kerelaan tokoh-tokoh Islam menghapaus tujuh kata dalam sila pertama Pancasila adalah merupakan sumbangan luar biasa dalam mewujudkan kokohnya persatuan bangsa.
Potensi Konflik
Namun sejarah juga mencatat, setelah 71 tahun Indonesia merdeka masih ada potensipotensi konflik yang mengusik kerukunan di tengah masyarakat. Intoleransi antarumat beragama masih terus terjadi di berbagai daerah karena berbagai alasan. Bahkan intoleransi tersebut sampai pada kebencian yang mendalam dan bahkan perusakan tempat ibadah. Konflik umat beragama yang terjadi di Ambon, Poso, Sampit, Tolikara (Papua), hingga penistaan agama menjadi kegaduhan luar biasa yang menyedot energi bangsa ini.
Sejatinya masyarakat Indonesia yang plural selalu mendambakan kerukunan, kedamaian, toleransi dan saling menghargai. Toleransi tidak hanya sekadar retorika, namun sudah teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari. Di berbagai daerah di Nusantara, hubungan umat beragama telah lama terjalin dengan harmonis dan toleran. Bahkan budaya gotong royong yang begitu kuat di masyarakat telah mampu merajut tali toleransi.
Multikultural merupakan istilah yang memerlukan penjelasan teoretis tentang bagaimana suatu kehidupan yang rukun dalam suatu masyarakat majemuk dapat terwujud. Kalangan ilmuan sosial mengajukan beberapa pandangan. Menurut Gerald A Arbuckle, kehidupan multikultural bukan merupakan suatu perintah melainkan tumbuh dari kesadaran. Dalam definisi tersebut Arbuckle juga menolak adanya anggapan bahwa multikulturalisme merupakan penemuan dari beberapa orang ahli.
Dua hal yang ditolaknya, perintah dan ide beberapa ilmuwan, mengakibatkan pandangan bahwa multikulturalisme merupakan gerakan dari bawah dan melibatkan semua lapisan masyarakat. Di mata Arbuckle, multikulturalisme dengan demikian merupakan bentuk inkulturasi karena budaya dengan cepat berubah sendiri dan membentuk sesuatu yang baru. Perubahan terjadi karena keterlibatan semua komponen dalam struktur yang berperan, sehingga bentuk kehidupan multikultural terwujud.
Interaksi
Sementara itu Francis Fukuyama menyebutkan bahwa social capital adalah eksistensi seperangkat tata nilai atau norma yang disepakati dan diterapkan bersama antaranggota kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama. Apabila anggota suatu kelompok masyarakat mengharapkan anggota kelompok lain berperilaku seperti yang dilakukan maka harus ada sikap saling percaya satu sama lain. Secara lebih gamblang dijelaskan Putnam (dalam Fukuyama, 1999) bahwa social capital mengacu pada collective values of all social networks.
Bagi Fukuyama social capital sangat berperan dalam proses interaksi yang didasari dan akhirnya mengarah pada suatu bentuk multikulturalisme. Seperti halnya Arbuckle, Fukuyama mengakui bahwa manusia dengan sadar akan menggunakan social capital-nya menuju suatu bentuk struktur sosial yang lebih baik didasarkan pada nilai-nilai dan norma sosial yang disepakati mereka. Perangkat dinamis dari semua nilai dan norma sosial ini mencerminkan kondisi kehidupan multikultural.
Bagi Bangsa Indonesia, pluralitas baik dari aspek agama, budaya, aliran, etnis dan lainlain, bisa menjadi potensi kerukunan dan juga bisa menjadi potensi konflik. Manakala persoalan pluralitas ini dikelola dengan baik, akan bisa menjadi potensi kerukunan. Sebaliknya manakala persoalan pluralitas ini tidak dikelola dengan baik, akan bisa menjadi potensi keresahan dan konflik yang melelahkan di tengah masyarakat. Di sinilah dibutuhkan pendekatan dialog yang baik, agar bisa memberi kesejukan bagi umat, sehingga bisa memperkokoh keutuhan dan persatuan bangsa.
Oleh : Dr Hamdan Daulay MA. Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. | Photo Credit : Dok/Ist. Photo