Telegrafi – Hinggar binggar eskalasi politik semakin riuh diranah publik dalam masa kampanye pilpres yang on fire 75 hari sampai 10 Pebruari 2024.
Masyarakat dan media menyorot semua aktifitas pasangan calon no urut 1,2 dan 3, baik kampanye temu muka langsung dan atau pertemuan dengan tokoh apapun masing- masing termasuk gelar pertemuan dengan kelompok – kelompok masyarakat yang mewakili strata sosial apapun komunitas daerah, kelompok pemuda, tokoh agama, olahraga, profesional, kelompok inklusi disabilitas termasuk ibu- ibu yang tersaji dan diketahui dalam ragam bentuk berita.
Tahapan pemilu yang sekarang dijalani, juga memiliki varian bentuk kampanye yang secara normatif telah diatur adalah debat kampanye antar para paslon,baik yang antar para paslon,antar para capres dan antar para cawapres.
Normanya sudah diatur tertulis dan penjelasannya sudah sangat jelas.
Ya, bagi yang belajar ilmu hukum pada mata kuliah teknik perundang-undangan, pasti mengetahui tafsir yang benar dan orisinil serta otentik atas sebuah pasal adalah sebagaimana tersebut pada peraturan penjelasannya,sehingga tafsir diluar itu jelas out- side apalagi bahkan sampai dikatakan hasil kesepakatan antar para paslon, jelas jauh lebih tidak taat hukum.
Pilpres bukan peristiwa perdata, dimana para pihak bisa memilih mengabaikan ketentuan- ketentuan normatif yang menjadi dasar perikatan dan atau membuat addendum, tambahan aturan yang disepakati karena akibat hukumnya hanya mengikat antar para pihak, subyek yang membuat peraturan.
Semua aturan ke Tata Negara-an mulai dari proses pembentukkan kekuasaan, penyelenggaraan dan pertanggungjawaban kekuasaan, harus berdiri dan berjalan untuk kepentingan pubilk, masyarakat, karena akibat hukumnya berlaku untuk seluruhnya = erga omnes dan ini sejalan prinsip penyelenggaran demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat – Aristoteles, bapak demokrasi dunia.
Publik sangat jelas mengetahui ada tindakan nyata penyelundupan hukum atas tasfir hukum yang dilakukan dengan sekali lagi merubah ketentuan normatif atas nama kesepakatan para paslon, yang seharusnya KPU sebagai yang diberikan wewenang penyelenggaraan pemilu hanya berdasar dan harus frigid dengan aturan tersebut.
Bisa runyam negara ini jika setiap aturan normatif semaunya diubah pada tempat dan oleh pihak yang tidak memiliki legal standing. Dibahas dengan prosedur pembentukkan undang-undang, secara yuridis, filosofis dan sosiologi begitu detail lalu hanya begitu mudah di-politicking yang sarat dengan orientasi kekuasaan dan politik pihak tertentu.
Disatu sisi kemudian publik tersentak yang sampai menaikkan asam lambung dan meninggikan asam urat banyak masyarakat dengan anjuran mengasup asam sulfat bagi ibu-ibu hamil.
Tentu saja para pakar kesehatan, dokter ahli dan mereka yang belajar ilmu kesehatan, farmasi dan atau kedokteran bagaimana utilitas asam sulfat akan merasa kecut keasaman tentang berita viral ini?
Lalu apa pertautan dari sesi debat cawapres yang diformat ulang dengan asam sulfat tersebut?
Inilah jawaban, mengapa sesi debat antar cawapres oleh KPU kemudian dibuat dalam kemasan baru dengan tidak ada sesi debat apple to apple antar para cawapres, tafsir barunya, karena tidak ada larangan boleh didampingi capres.
Kesalahan bersama selama ini, adalah publik terlalu tinggi mempersepsikan dan membranding personalitynya sebagai figur atau ikonik yang kompeten dan yang memiliki kemampuan intelektualitas literasi diatas standard, reputasi akademik yang menegaskan eksistensinya sebagai seseorang yang memiliki kemampuan argumentatif dan logis sebagai ciri generasi millenial, sebagai prasyarat calon pemimpin, selain memiliki secara biologis kapasitas sosial sebagai anak pejabat yang sedang berkuasa dan ini wajar saja sampai kemudian dititik ini publik bisa me-review kembali perspektifnya.
Setiap paslon punya tim pakar yang bertugas memberikan penilaian dan merumuskan ansospol SWOT-nya dan tentu saja terkait ini, menjadi rekomendasi strategis para pakar lingkar timsesnya,yang telah sangat jelas mengetahui kelemahan pada sisi kemampuan berdialektika jauh dibawah standard untuk sebuah forum politik berupa debat terbuka yang bernilai selain politik juga akademik sebagai uji publik oleh masyarakat pemilih.
Mereka paham jika forum debat antar cawapres mempertaruhkan reputasi akademik dan ujian atas horison wawasan pemikiran yang dimiliki, yang tentunya sangat membutuhkan kemampuan dan seni berkomunikasi yang prima dan berbasis data, teori dan fakta untuk ditampilkan kepublik, sehingga mesti cepat diantisipasi dengan men-repoliticking lagi aturan pemilu. Kita sedang mengkonsumsi asam sulfat politik.
Oleh: Viani Octavius, Advokat dan Penggiat Politik