Tepat menjelang Hari Ulang Tahun Repubik Indonesia yang ke-77, menjadi bagian dari anak bangsa yang dilahirkan dari bumi Nusantara Indonesia adalah sebuah kebanggaan bagi saya. Setiap roda berjalan yang melintasi di beberapa titik di pulau Jawa menjadikan pengalaman untuk selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Menciptakan atas segala sesuatu di alam semesta ini. Semoga dengan kesehatan yang diberikan oleh sang pencipta, dengan harapan besar, saya mendapatkan kesempatan untuk bereksplorasi Nusantara dan dunia dalam rangka menyongsong perdamaian abadi dan keadilan sosial, sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Meskipun demikian, merenungkan bangsa Indonesia dalam menyongsong generasi emas 2045, maka perlu beberapa persiapan yang matang secara strategis dan taktis. Ditemani dengan Motor Supra x 125 tahun 2006 dan laptop bermerek Dell di dalam tas menemani proses perenungan saya mengenai situasi dan kondisi bangsa ini. Dengan catatan kecil dan ingatan, tangan menggerakkan diri untuk selalu merekam setiap jejak langkah. Diskusi dari warung kopi hingga ke obrolan jalanan, meleburkan diri kepada rakyat yang sedang kelaparan dan membutuhkan pertolongan dari Negara, tentunya lebih mengena dari isi jiwa untuk kembali merawat bangsa Indonesia ini. Dalam hal ini, maka Pancasila harus hadir untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Dalam hal ini, perenungan kembali tentang narasi kebangsaan Indonesia secara teoritik dan praktik harus direalisasikan seiring dengan perkembangan zaman yang semakin dinamis dan kompleks. Ya, meskipun memikirkan sebuah bangsa Indonesia, banyak hal yang harus dikorbankan, baik pikiran maupun proses perenungan jiwa. Memikirkan bangsa Indonesia juga harus mendapatkan restu dari orang tua, keluarga, teman terdekat. Sehingga orang orang disekitarnya harus memahami dengan kondisi yang ada, ketika pola komunikasi rasa tidak lagi intens. Karena melibatkan diri dalam proses pembangunan bangsa Indonesia.
Seiring dengan berjalannya waktu, tanpa disengaja bertemu dengan seseorang yang selalu memberikan nasihat kepada saya. Bahwa membangun persoalan Negara Indonesia yang maju dan berkeadilan, jangan terlalu mengedepankan pikiran bersifat kalkulatif dan materialistik individualistik berkarakter kapitalis, melainkan bagaimana menyusun sebuah instrumen kebijakan yang dapat meingkatkan perekonomian dan membangkitkan kesejahteraan masyarakat secara kolektif.
Pasalnya mengapa ? masih banyak dijumpai ketimpangan sosial yang masih mencolok. Sehingga mengapa ? maka seharusnya terdapat check and balance antara Rakyat dan Negara. Rakyat harus mendapatkan pendidikan kritis konstruktif untuk menyumbangkan ide dan gagasan bagi penyelenggara Negara. Begitupun sebaliknya, bahwa Negara harus hadir melalui penyelenggara Negara harus peka meleburkan diri untuk melihat dan mengamati sesuatu yang terjadi didalam masyarakat, melakukan Live In atau meleburkan diri di masyarakat dengan mendengarkan jeritan dan suara hati rakyat. Karena hakikat nilai kebangsaan dan Pancasila sumbernya dari Rakyat. Begitupun demikian, dalam tulisan bio saya di Instagram @aji_cahyono99, menyebutkan bahwa Sumber Pengetahuan adalah Rakyat, dan Pengabdian Setinggi-Tingginya adalah Bermanfaat bagi Manusia, baik manusia di bumi Indonesia maupun Dunia.
Ideolog dan Birokrat Programatik
Meskipun ditinjau dari Pendidikan Formal yang bersifat administratif akademik yang terdaftar di Pangkalan Data dan Pendidikan Tinggi (PDDIKTI), saya terdaftar sebagai mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies dengan Konsentrasi Bidang Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saya tidak serta merta melupakan dan meninggalkan persoalan bangsa Indonesia. Sebelum memberikan saran dan rekomendasi secara akademik mengenai persoalan yang terjadi di Timur Tengah, berangkat dari kesadaran moral untuk merawat esensi kebangsaan, maka saya selalu merawat nilai tersebut dengan beberapa tulisan yang ada.
Terutama hingga saat ini, terjadi perbedaan yang amat esensialistik untuk memahami Pancasila dari sudut pandang Ideolog maupun orientasi Birokrat Programatik. Hingga saat ini, bahwa politisi, penjabat publik, ASN atau Ormas Ormas yang lain menganggap bahwa menjalankan sebuah ideologi dan kebijakan publik, maka harus diprogramkan disertakan dengan pembiayaan anggaran Negara, karakter inilah yang saya sebut sebagai Birokrat Programatik.
Sedangkan seorang ideolog sejati, murni dari kesadaran hati mengamati sebuah realitas sosial didasarkan dengan pengetahuan dan analisis yang mendalam, sehingga kerja kerja ideologi tanpa adanya anggaran, masih bisa berjalan dengan baik. Dalam hal ini, maka diperlukan kerja kerja ideologi yang kolektif kolegial yang kolaboratif, partisipatif, dan inklusif. Tanpa kalkulatif, biasanya kerja ideology mengena substansi dan esensial. Sedangkan kerja ideologi yang bersifat Birokrat Programatik, maka jatuhnya hanya formalitas dan seremonial belaka.
Maka seharusnya bagaimana ? selayaknya harus direkonstruksi ulang mengenai bangsa Indonesia yang aslinya dan otentik sesuai dengan instrument dari rumusan visioner The Founding Parents seperti halnya Bung Karno dan Bung Hatta. Mungkin usulan dari saya secara pribadi, berangkat dari jeritan suara rakyat marhaen, maka selayaknya harus adanya konsolidasi akbar secara nasional dengan melibatkan semua instrumen masyarakat Indonesia yang beragam, untuk merumuskan kembali Garis Garis Besar Haluan Perjuangan Bangsa Indonesia, terutama menyongsong Pemilu 2024 dengan misi kebangsaan Indonesia yang secara kolektif.
Aji Cahyono, Mahasiswa Magister Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga