Telegrafi – Juni identik dengan bulan Bung Karno (BK). Proklamator yang lahir pada 6 Juni 1901 dan meninggal tanggal 20 Juni 1970. Salah satu buah pemikirannya, yaitu Pancasila lahir 1 Juni. Karenanya tak salah jika kita sebut: Juni sebagai bulan BK. Pertanyaannya, apa hal menarik di balik ketokohan BK selain sebagai Presiden RI dan pahlawan nasional? Apakah layak BK disebut sebagai tokoh yang paling mengerti Indonesia?
BK dalam batas-batas tertentu, dianggap sebagai sosok yang paling mengerti Indonesia, baik bahasa, bangsa, dan budayanya.
Saat menyampaikan pidato kemenangannya di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, tahun 2014 silam, Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) juga mengutip buah pemikiran BK. Yaitu, (1) berdaulat secara politik, (2) berdikari secara ekonomi, dan (3) berkepribadian secara kebudayaan. Tiga butir itu secara konsisten dilaksanakan BK semasa hidupnya. Kemudian Jokowi-JK mencoba menerapkan kembali ketiga butir itu pada saat ini.
Konsisten
Khusus butir ketiga, berkepribadian secara kebudayaan, BK membuktikan dengan cara konsisten berbahasa Indonesia. Ia menulis pledoi berjudul Indonesia Menggugat dalam Bahasa Indonesia ejaan van Ophuijsen di Bandung, tahun 1930. Meski mahir berbahasa asing (bahasa Belanda), namun BK menulis pledoinya dalam Bahasa Indonesia. Hal itu menjadi penanda betapa BK, sekali lagi, konsisten berbahasa Indonesia.
Selain pledoi Indonesia Menggugat, BK juga menulis teks Proklamasi Republik Indonesia dalam Bahasa Indonesia ejaan van Ophuijsen di Jakarta. Salinan teks tersebut dapat kita lihat di Museum Bung Karno Blitar, Jawa Timur. Teks serupa dalam bentuk ketikan juga mudah kita baca di lembaran uang Rp100.000. Barangkali, dengan kesadaran nasionalisme yang tinggi, BK tetap menggunakan Bahasa Indonesia dalam menulis teks Proklamasi RI.
Konsistensi BK berbahasa Indonesia, tampaknya ‘berseberangan’ dengan sikap berbahasa elite dan masyarakat kita dewasa ini. Sebagai contoh, nama New Yogyakarta Airport International (NYIA) atau Bandar Udara Internasional Yogyakarta Baru. Orang awam seperti penulis akan bertanyatanya, apa yang dimaksud dengan Yogyakarta Baru? Jika ada Yogyakarta Baru, apakah ada Yogyakarta Lama? Di mana letak wilayah Yogyakarta Lama itu?
Selain berpotensi membingungkan masyarakat, nama NYIA juga dipandang tidak sesuai dengan semangat UndangUndang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Semangat di balik UU tersebut ialah (1) mengutamakan Bahasa Indonesia, (2) melestarikan bahasa daerah, dan (3) mempelajari bahasa asing. Seharusnya pihak PT Angkasa Pura selaku pengelola NYIA membaca UU tadi.
Jika BK masih hidup, ia mungkin akan bersedih hati melihat anak bangsa ini lebih bangga berbahasa Inggris daripada berbahasa Indonesia. Padahal, Bahasa Indonesia merupakan salah satu identitas bangsa kita, selain juga sebagai bahasa persatuan dan bahasa resmi negara. Lantas, apa jadinya kita sebagai bangsa Indonesia jika tidak bangga berbahasa Indonesia? Bangsa lain senang belajar Bahasa Indonesia, sedangkan kita malah bersikap sebaliknya. Ironis bukan?
Jejak Bahasa
Telah 48 tahun BK pergi menghadap Ilahi. Meski begitu, jejak bahasa BK terekam kuat di sejumlah karyanya, seperti pledoi Indonesia Menggugat dan buku Di Bawah Bendera Revolusi. BK menulis buah-buah pemikirannya dalam Bahasa Indonesia dengan jernih. Hal itu membuktikan bahwa BK konsisten berbahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan. Itulah hal menarik jejak-jejak bahasa BK dalam membaca dan menulis.
Konsistensi BK dalam berbahasa Indonesia dapat kita ikuti saat ini. Sebagai contoh, PT Angkasa Pura bisa mengadakan sayembara nama pengganti NYIA yang bersifat lokal. Nama kecil Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raden Mas Dorojatun, bisa dijadikan sebagai salah satu usulan. Paling tidak, nama itu memiliki muatan nilai sejarah dan budaya Indonesia yang khas dan unik.
Oleh : Sudaryanto MPd. Dosen PBSI FKIP UAD, Pengurus APPBIPA Jogja Periode 2015-2019. Photo : FILE/Dok/Ist. Photo