Telegrafi – Berbicara tentang hukum, menggunakan pandangan publik secara umum membahas mengenai keputusan dan aturan yang memberikan keadilan sesuai dengan proporsional. Dalam konteks kajian eksistensi hukum, pentingnya dalam melaksanakan keadilan, kepastian, serta kemanfaatan yang harus mengiringi dari terbentuk dan berjalannya hukum, yang mana dalam istilahnya disebut sebagai das sollen (suatu yang diharapkan) dilatarbelakangi das sein (keadaan yang nyata) di mana kedua-duanya ini harus selaras dan sepantas sesuai kaidah hukum.
Namun seiring dengan berjalannya fenomena yang ada, yang sebelumnya hukum memberikan keberpihakan pada keadilan dan kebenaran, berbalik arah menjadi suram, menikam dan kerap kali digunakan untuk membungkam, serta menindas masyarakat kecil dan orang-orang yang tidak merata dalam pemahaman konsep hukum. Dari sini sebelumnya kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum mula mejelma menjadi buram, keberpihakan, serta ancaman bagi masyarakat kecil.
Beberapa peristiwa kasus tentang kegagalan hukum untuk memihak masyarakat kecil, yang tersiar di pemberitaan media massa. Seperti halnya Peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan (07/10/2023). Berdasarkan laporan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dugaan represif berupa kekerasan oleh aparat, saat aksi demonstrasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya kepada PT. Hamparan Masawit Bangun Persada, sejak 16 September 2023.
Pasalnya, dari pihak Perusahaan dikabarkan tidak menepati hasil kesepakatan dengan masyarakat Desa Bangkal. Aksi tersebut terhenti, sejak adanya korban jiwa meninggal. Dan dikabakan juga dugaan extrajudicial killing (pembunuhan di luar hukum). Fakta lain juga berbicara bahwa ada warga yang menjadi korban penyiksaan dan penangkapan serta upaya paksa sewenang-wenang oleh aparat. Tidak hanya itu, aparat Kepolisian merusak beberapa kendaraan bermotor milik warga. (ylbhi.or.id, 24/09/2023).
Pelanggaran serupa juga terjadi di Pulau Rempang (7/9/2023). Dugaan represif yang dilancarkan oleh aparat keamaan (Polri, TNI, Satpol PP setempat, dan Ditpam Badan Pengusahaan) terhadap Warga Pulau Rempang terjadi di Jembatan 4 Barelang, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Awal mulanya dikabarkan penolakan warga terhadap perumusan proyek Rempang Eco-city dengan pematokan tanah. Proyek ini akan digarap oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG). Meskipun demikian, pada 7 September 2023, secara psikis masyarakat mengalami trauma dan akhirnya kampung sepi ditinggal penghuninya. (ylbhi.or.id, 7 September 2023).
Begitupun juga kedudukan hukum yang diperoleh keluarga korban mengenai tragedi kanjuruhan satu oktober. 135 orang meninggal dunia, di Stadion Kanjuruhan, seusai pertandingan antara Arema vs Persebaya dengan skor akhir 2-3. Peristiwa tersebut masih sampai pada tahap kejelasan hukum yang jelas. Hingga, kasus tersebut menjadi pemberitaan dikalangan internasional, dan sejumlah klub professional diseluruh dunia untuk merayakan duka cita mendalam. (Marhaenist.id)
Marhaenisme dalam Konsepsi Pemikiran Bung Karno
Pastinya, tindakan apapun yang dilakukan oleh instrumen negara dengan dalih keamanan tanpa adanya proses peradilan yang sesungguhnya, tentunya tidak sejalan dengan nawacita Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa, serta UUD 1945 yang terkonstitusikan dari norma-norma yang berlaku. Pasalnya, disusunnya sebuah UUD 1945 tak lain adalah dasar kemanusiaan bukan malah seolah-olah masyarakat kecil menjadi korban kebrutalan demi kepentingan.
Selain itu, mungkin banyak publik belum mengenal lebih jauh tentang konsepsi Marhaenisme, ideologi yang dikonsepsi oleh Bung Karno, digali dan bersumber dari penderitaan rakyat terhadap sebuah sistem yang mencengkram keadilan rakyat, terutama dalam aspek kesejahteraan dan mendapatkan haknya untuk Merdeka yang seutuh-utuhnya, tidak melanggar dari amanat dan cita-cita Foundings Parents.
Pemikiran Bung Karno dalam tulisannya ‘Indonesia Menggugat’, ia menempatkan Marhaenisme sebagai anti penindasan terhadap kaum marhaen (masyarakat kecil yang mempunyai lahan dan alat produksi, namun tercengkrema oleh sistem yang menindas). Begitupun dalam karya bukunya Dibawah Bendera Revolusi Jilid 1” Sukarno memaparkan arti marhaen pada Kongres Partindo yang diselenggarakan di Mataram 1933; “kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.”
Tak berhenti disitu, Marhaenisme, ibarat kata seperti janin, yang kemudian melahirkan sebuah anak bernama ‘Panca Sila’, Pancasila digali oleh Bung Karno, pada abad ke-20, berangkat renungan di bawah pohon sukun. Sehingga dalam pidatonya Sukarno menyampaikan “Pancasila is Marhaenisme, Marhaenisme is Pancasila”. Hal ini tertuang dalam buku Sukarno “Lahirnya pancasila” (Soekarno, Pancasila dan Perdamaian Dunia).
Didukung dengan referensi yang ditulis oleh Cindy Adams dalam Penyambung Lidah Rakyat. Secara defenitif marhanisme merupakan ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa, baik kolonialisme, imprealisme, ataupun kapitalisme. Misalnya, dalam buku tersebut: “Seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat produksi yang sedikit. Bangsa kita yang puluhan jiwa jumlahnya, sudah dimelaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang bekerja untuk dia. Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktik.” Secara singkat, bahwa Marhaenisme terdapat dua azaz perjuangan (dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Djilid I), yakni;
Pertama, Sosio-Nasionalisme, sebuah keberpihakan, dan mengutamakan kepentingan masyarakat yang dilandasi dengan nasionalisme Indonesia yang berkemanusiaan. Sukarno dalam Pledoi Indonesia Menggugat Mengatakan bahwa, “Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme marhaen, dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat itu. Jadi: sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik dan ekonomi—suatu nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki….. Sosio-demokrasi adalah timbul karena sosio-nasionalisme.”
Kedua, Sosio-Demokrasi, adalah paham demokrasi kerakyatan. Demokrasinya Masyarakat atau Demokrasinya Rakyat itulah Sosio-Demokrasi, yakni kedaulatan rakyat dalam politik dan ekonomi. Bila rakyat berdaulat secara politik dan ekonomi, maka berakhirlah ketidakadilan sosial yang ditimbulkan oleh Kaum Borjuis dan Oligarki. Dan terwujudlah apa yang dinamakan tata tentrem kerta Raharja, yang disebut Sukarno sebagai masyarakat Sosialis Indonesia.
Marhaenisme sebagai Solusi atas Permasalahan Hukum
Seyogyanya, dalam segala putusan atau kebijakan, hukum memang sangat dinamis. Namun sifat dinamis tersebut harus selaras dengan UUD-1945 yang merupakan penjabaran dari Pancasila. Sebagaimana Bung Karno menyebutkan sebelumnya, Pancasila is Marhaenism, bagaimana upaya hukum yang berkeadilan dan berprinsip pada nilai nilai kemanusiaan.
Sebagaimana dalam Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan (Sebagaimana telah diperbaharui dengan UU Nomor 15 Tahun 2019) menjelaskan hirarki Perundang-undangan harus sesuai dengan apa yang dituju di UUD 1945.
Tentu memperhatikan fenomena kasus yang penulis sajikan, masih banyak pelanggaran hukum yang tidak berpihak pada masyarakat. Secara formal, segala aturan seolah-olah sesuai UUD 1945 tapi secara praktik malah bertolakbelakang pada tujuan. Akan hal itu, rasanya perlu adanya penyadaran akan asal usul Pancasila yang dijabarkan nantinya dalam UUD 1945 adalah Marhaenisme.
Melihat hierarki hukum Indonesia, semuanya harus merujuk pada UUD 1945 yang paragraf demi paragrafnya tergambar arti Pancasila, yang merupakan sari perasan dari ideologi Marhaenisme. Dengan ini dapat diartikan, segala undang-undang yang nanti akan ditafsirkan dan menjadi kebijakan serta keputusan harus sesuai dengan citra asal terciptanya, ialah Marhaenisme.
Sebagai akhir, penulis menegaskan bahwa Marhaenisme masih relevan dan dapat dijadikan sebagai resolusi dalam upaya praktik hukum di Indonesia. Keberadaannya mutlak tidak ada penolakan, artinya apabila membahas hukum, maka Marhaenisme harus dipahami dan dijiwai serta terimplementasikan dengan baik.
Oleh: Moh. Nurul Huda Kader GMNI UINSA-A. Yani, Prodi Hukum UIN. Sunan Ampel Surabaya, Pegiat Hukum.