Telegrafi – Dalam Pidato Kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyatakan pandemi Covid19 harus menjadi peluang semua komponen bangsa untuk ‘mengegas’ dan ‘mengerem’ dengan strategi yang jitu, layak dikembangpraksiskan pada bidang ekspor nasional. Selama ini ekspor Indonesia terkonsentrasi pada sejumlah negara yang disebut pasar tradisional, yang sudah mulai jenuh.
Dalam suasana pandemi, tidak ada jalan lain pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan harus fokus. Tak hanya intensifikasi produk, tapi juga diversifikasi produk ekspor ke luar negara tujuan utama atau nontradisional. Dengan menjajal pasar baru ekspor, peluang mendongkrak kinerja ekspor masih terbuka lebar.
Menurut data Kemendag upaya diversifikasi tujuan ekspor mulai berjalan. Hasilnya tak mengecewakan. Misalnya ekspor tujuan Mongolia mencatat pertumbuhan signifikan hingga mencapai 450,29%, ke Zimbabwe 353,73%, Afrika Tengah sekitar 315,9%, dan Bulgaria 222,27% sejak digarap dalam dua tahun terakhir ini. Jadi terbukti bahwa sejumlah negara yang selama ini tidak dilirik memberi kontribusi pertumbuhan ekspor yang signifikan.
Tidak Cukup
Namun harus disadari bahwa menggenjot pasar ekspor sebagai bagian upaya dari pemulihan ekonomi nasional (PEN) tidak cukup hanya dengan program diversifikasi tujuan ekspor. Berbagai upaya lain harus menyertainya. Kali ini gayung bersambut, Lembaga Pembiayaan Ekspor Pemerintah (LPEI) dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) ditugasi pemerintah untuk memberikan penjaminan kredit kepada usaha berskala korporasi padat karya.
Ruang gerak LPEI berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat melakukan penjaminan bagi bank dengan ketentuan antara lain pembobotan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) sebesar 0%. Selain itu aset yang dijamin berkualitas lancar dan pengecualian perhitungan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Melalui skema tersebut bank dalam menyalurkan kredit ekspor punya keleluasaan untuk ekspansi dan meminimalkan risiko kredit sekaligus. Di sisi lain para eksportir, terutama yang memiliki karyawan banyak, aman untuk beroperasi karena tetap mendapat dukungan pembiayaan dari perbankan.
Lalu mengapa selama ini kinerja ekspor Indonesia selalu tertinggal jauh bila dibandingkan dengan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara walau tanpa pendemi korona?
Jawabannya, sebagaimana dibeberkan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Dzulfian Syafrian, karena Indonesia memiliki strategi perdagangan internasional yang kurang jelas sehingga fokus orientasinya tidak jelas. Dia mencontohkan, Jepang dan Jerman memilih strategi perdagangan dan pembangunan ekonomi yang berorientasi ekspor.
Selain regulasi kemudahan ekspor, didua negara maju itu, urusan ekspor tak hanya mengandalkan para pengusaha, eksportir, tetapi menggerakkan seluruh sumber daya secara terintegrasi. Jepang, misalnya, para diplomat dan atase di semua negara tak hanya diarahkan untuk urusan diplomasi pemerintahan. Tetapi semua pejabat di kementerian luar negeri harus mau dan mampu menjadi ‘telemarketer’ produk rakyat, produk para pengusaha nasional.
Empat Kendala
Kondisi perdagangan internasional semakin sulit di tengah pandemi. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengakui dan menilai terdapat empat kendala besar. Pertama, perubahan perilaku konsumen, dimana pola perdagangan kini mengarah pada perdagangan digital. Kedua, meningkatnya praktik proteksionisme sejumlah negara di masa Covid-19. Ketiga, perjanjian dagang yang dalam proses bisa mengalami hambatan. Keempat, adanya potensi defisit dan resesi ekonomi akibat ketegangan ekonomi global yang disebabkan perang dagang AS dan China yang tak kunjung usai.
Namun, sesulit apa pun kondisi, selalu ada jalan sepanjang terus berupaya secara kolaboratif. Pandemi korona telah membuka momentum bagi pemerintah untuk lebih fokus membuka pasar baru ekspor dengan segala perangkat pendukungnya. Maka kinerja ekspor senantiasa harus berefek terhadap pemulihan ekonomi nasional yang kini di ambang resesi.
Oleh: Tasroh MPAMSc. Tim Pengembangan Ekonomi Investasi Daerah, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan.