Telegrafi – Secara umum, pemahaman tentang pemuda merupakan manusia individu secara fisik maupun psikis mengalami perkembangan, dan sebagai calon generasi mendatang, diharapkan kedepannya bahwa pemuda juga turut andil dalam penyusunan suatu pandangan hidup manusia dan bangsanya. Meskipun secara definisi memaknai kata “pemuda” memang beragam, namun hal tersebut bukan menjadi halangan pemuda untuk berkembang dan mendobrak yang terindikasi pada menghambatnya proses kemerdekaan Bangsa Indonesia 100% mutlak tanpa intervensi konflik kepentingan pragmatisme opportunis yang individualis. Karena bangsa Indonesia dikemas dengan sedemikian rupa serta dikembalikan untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
Momentum pada tanggal 28 Oktober yang ditandai dengan peringatan “sumpah pemuda”, namun yang diharapkan bukan hanya sekedar peringatannya saja secara simbolik, melainkan sebagai pemantik perjuangan pemuda yang seyogyanya bahu membahu, saling bersinergi, menghilangkan konflik kepentingan pragmatisasi opportunis berocorak konservatif yang menciptakan watak feodalisme (semi imperialisme). Sehingga pengabdian pada negara dengan spirit pemuda diharapkan mampu memberikan ruang gerak untuk menangkal segala bentuk penjajahan, eksploitasi, manipulasi politik maupun ekonomi.
Cerminan watak feodalisme konservatif ditubuh negarawan, maka berpotensi pada penjerumusan dekonstruksi pikiran dan etika bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, UUD 1945 soal kehidupan bangsa yang terkonstitusi.
Bukan perkara mudah memang menjadi pemuda di era millenium abad ke -21, karena pemuda dihadapkan dengan realitas konflik politik dengan cerminan politisi yang masih konservatif, belum ada pendekatan dialogis dan dialektis secara akademik untuk terwujudkan suatu kebijakan politik yang ideal.
Salah satu reformasi yang harus dilaksanakan oleh pemuda sebagai agen perubahan, pemuda sekarang dihadapkan dengan pejabat yang juga berpengaruh dengan watak yang diduga orde baru mewarisi tindakan – tindakan koruptif, hingga proses demokrasi pancasila (yang masih dipertanyakan ke-pancasila-an), madzhab pancasila mana yang masih menjadi pedoman berbangsa dan bernegara. Dengan harapan bahwa Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai alat populis dengan menghalalkan segala cara yang diharamkan, melainkan sebagai platform perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Bung Karno.
Secara historis, pada tanggal 16 Desember 1959, Bung Karno menetapkan Keputusan Presiden No. 316 tahun 1959 sebagai peristiwa memperingati hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober. Alasan Bung Karno menetapkan peristiwa tersebut, dugaan penulis sebagai manifestasi kobarkan semangat pemuda dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut diketahui melalui Kongres Pemuda ke – II yang diselenggarakan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tanggal 27-28 Oktober 2021. Hasil daripada kongres tersebut diharapkan memberikan semangat pergolakan pemuda yang tegaskan secara prinsip politik untuk wujudkan cita – cita dan tanah air dan bangsa Indonesia. sebagaimana bunyi sumpah pemuda sebagai berikut:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Soekarno Muda dan Pemikirannya Sebagai Wacana Resolusi Konflik Timur Tengah
Putra Sang Fajar, Bung Karno yang dilahirkan pada waktu Fajar, tepatnya di Kota Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan. Bung Karno yang identik dengan orator ulung yang pidatonya berapi-api, teknik propaganda yang persuasif demi kepentingan bangsa dan negara. Sekaligus juga sebagai penulis sastrawan kuno dan aktivis pemuda tidak menghambat proses perjuangannya dalam melawan dan mengusir penjajahan hindia Belanda.
Bicara soal bung karno tidak ada habisnya, karena pemikirannya seiring dengan perkembangan zaman masih relevan untuk merekonstruksi pemikiran dan kebijakan yang saat ini terindikasi pro dengan neo-imperialisme dan kapitalisme, nasionalis populis feodal. Sehingga apa yang menjadi nawacita bersama yakni gotong – royong, baik kalangan nasionalis, marhaenis, religius moderat, penganut kepercayaan saling bahu membahu untuk membangun bangsa dan negara ini. Jika kita telisik lebih dalam pemikirannya Bung Karno sangat visioner dan misioner demi terwujudnya ketertiban dunia, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Mengulas bagian dari historis perjalanan muda Bung Karno, mungkin ada istilah ungkapan bahwa “masa kecil adalah masa bahagia”, hal tersebut lantaran dalam kehidupan Bung Karno cenderung mencekam, pasalnya dengan situasi penjajahan secara fisik dan psikis di negeri sendiri akibat kuatnya penjajah tersebut.
Sejak remaja, Bung Karno pernah mondok dan tinggal di Rumah Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto di Gang 7 Peneleh, Surabaya. Ketika Bung Karno melanjutkan pendidikannya di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya.
Masa-masa hidup dekat dengan Cokroaminoto membentuk kepribadian Soekarno yang sarat erat dengan kondisi politik pada masa itu. Hal itu memungkinkan terjadi karena Rumah Cokroaminoto kerap dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh politik, seperti Ki Hajar Dewantara, DR. Sutomo dan Alimin.
Menjalang umur 20-an merupakan masa-masa muda Bung Karno yang hanya dihabiskan waktunya untuk berpolitik dan melawan segala cara karakter yang berwatak penindas dan sekaligus mengantarkan dirinya sebagai pemikir ideologis. Salah satu karya sastranya yang dijadikan buku yang ia tulis berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” pada tahun 1926, pledoi Bung Karno di bandung pada tahun 1930 berjudul “Indonesia Menggugat” dan Ketiga tentang “Islam Sontoloyo” sebagai kritik seorang muslim dengan pemikiran konservatif kolot yang terindikasi ajaran Radikalisme beragama yang jadi pemicu konflik.
Salah satunya buah pikir dari Bung Karno terlahirnya “Marhaenisme” yang menjelaskan soal “self-reliance” (kemandirian), tentang sosok yang mengkonsumsi apa yang diproduksinya. Namun, versi lain, seperti dalam “Indonesia Menggugat” Marhaenisme juga merujuk pada buruh perkebunan gula yang tertindas. Kadangkala BK menggunakan istilah Kromo dan Marhaen sebagai substitusi, kadang keduanya eksis.
Jika dikomparasikan dengan perjuangan kaum Buruh di Eropa, hampir ada pemikiran dari sisi pisau analisa soal Sosialisme dan Marxisme, namun Bung Karno menjadikan “Marhaenisme” sebagai Tesis aga dapat diterima oleh masyarakat Indonesia.
Alasan Bung Karno tidak memakai istilah Komunisme sebagai ajaran melawan sistem penjajah, dugaan penulis dikarenakan sedang adanya perang Ideologi antara Blok Timur (Komunisme Uni Soviet) dan Blok Barat (Kapitalisme Amerika Serikat). Sehingga Marhaenisme sebagai alat untuk menggalang kekuatan anti imperialisme dan kapitalisme.
Memang kala itu Sosialisme di luar eropa, seperti di Rusia, apalagi di negara-negara jajahan, yang agraris, kesulitan merekonstruksi dialektika sejarah materialisme berbasis petani kecil (bukan buruh) versus kapitalis.
Mayoritas pisau analisa yang digunakan adalah sosialisme dan Marxisme. Namun, ketika menjelaskan kaum Marhaen harus bergerak melawan penjajah secara radikal dan revolusioner, Bung Karno secara “self-proclaimed” mencoba komparasi perjuangan kaum buruh di Belanda dengan kaum Marhaen Indonesia.
Perjuangan dalam melawan penjajahan dan mewujudkan ketertiban dunia dan perdamaian abadi, maka Bung Karno melaksanakan konsolidasi dengan berbagai macam negara yang mempunyai kesamaan rasa dan nasib sesama negara terjajah, kesamaan berjuang. Tepat pada 1955 diselenggarakannya konferensi Asia-Afrika, salah satunya adalah pengakuan kemerdekaan negara-negara di Timur Tengah sebagai bangsa yang mandiri secara de facto dan de jure.
Sukarno hadir dalam KAA, dengan pidatonya yang berapi-api, menjadi pemantik bahwa bangsa Asia da Afrika segera bangkit sebagaimana judul pidatonya yakni “Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru”, Bung Karno soroti tiga isu yakni Kolonialisme, Perdamaian Abadi, dan Solidaritas Asia-Afrika.
Perkumpulan Asia-Afrika sebagai wujud keprihatinan atas konflik perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet beserta Sekutunya. Sehingga untuk mengurangi segala bentuk penjajahan, Bung Karno membentuk front anti-kolonialisme dengan semangat solidaritas Asia – Afrika.
Namun tindakan inisiatif yang dilakukan oleh Bung Karno menjadikan Amerika Serikat (AS) geram atas tindakan tersebut, sehingga diindikasikan berpotensi membahayakan bagi negara AS yang kedepannya secara politik dan ekonomi internasional, pasalnya prinsip invasi dan intervensi segala macam negara di dunia selalu dilakukannya oleh negara AS. Salah satu implementasi AS lewat Central Intelijen Amerika yakni yakni Mendongkel atau Mengkudeta Bung Karno sebagai presiden melalui operasi yang dilakukan oleh Mayjen Soeharto (Berharap jadi Presiden) dan mengkambinghitamkan PKI atau sebagai aktor pembunuhan masyarakat Indonesia yang pro terhadap Soekarno.
Amerika Serikat dan Inggris mengkudeta Soekarno, karena tidak ingin ideologi Komunisme tumbuh subur di bumi Indonesia dengan mengalahkan Kapitalisme sebagai Ideologi ekonomi yang dianut oleh Amerika Serikat.
Salah satu sederhananya dalam Konteks teritorial Geo-Politik di Timur Tengah, AS melancarkan operasinya untuk mengambil alih teritorial negara Palestina ditangan orang zionis dengan diakuinya Israel sebagai negara, baik defacto dan de jure oleh PBB. Selain itu, pada tahun 2003, AS mengkudeta Saddam Hussein yang bermazhab Sosialisme Arab, karena diindikasikan menghalangi kepentingan AS dalam intervensi dan eksploitasi Sumber Daya Alam, karena Irak dari sisi ekonominya merupakan salah satu negara penghasil dan produksi minyak terbesar di Dunia.
PBB pun tidak bisa melancarkan aksinya sebagai organisasi perdamaian, pasalnya AS merupakan donatur terbesar agar organisasi “yang konon katanya” mendamaikan negara di dunia, Israel dibawah kendali AS masih melancarkan aksi militernya di Palestina, hingga saat ini melancarkan aksinya dengan konfrontasi dengan Iran.
Dengan harapan, momentum hari Sumpah Pemuda ini, tepat pada tanggal 28 Oktober 2021 sebagai kesadaran pikiran dan moral untuk kembali mengaktualisasikan semangat perjuangan pahlawan kita, salah satunya Bung Karno dalam membumikan Nasionalisme Indonesia, atau Marhaenisme bagi seorang Marhaenis sejati. Upaya kolektif kolegial dan gotong royong, serta kedepannya sebagai platform resolusi konflik antar negara, Khususnya di Timur Tengah dan antisipasi upaya Radikalisme dan Ekstrimis berkedok Agama yang memecah belah persatuan bangsa dan negara Indonesia.
Oleh: Aji Cahyono, Artikel Sebelumnya terpublish pada tanggal 23 Oktober 2021 di Proklamator ID.